Tokoh-tokoh yang Berperan Dalam PNI (Partai Nasional Indonesia) dan pemikirannya Bagi Pergerakan Nasional di Indonesia

Soekarno dan Pemikirannya Untuk PNI

Soekarno merupakan seorang pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam usahanya untuk mengembangkan partai atau organisasi yang didirikannya, ia mencetuskan ide atau paham Marhaenisme, yang didalamnya merupakan sintesis dari ajaran Marxisme. Soekarno adalah orang yang sangat memperhatikan orang miskin. Seluruh kemelaratan dan kemiskinan orang lain menjadi perhatiannya. Sikap inilah yang mendorong Soekarno untuk memperjuangkan serta membela nasib rakyat miskin. Pada usia 20 tahun Soekarno mencetuskan suatu konsep “Marhaenisme”. Marhaenisme adalah organisasi PNI. Dengan demikian organisasi PNI yang didirikan oleh Soekarno tidak dapat dipisahkan dari “marhaenisme”.

Soekarno mulai mempimpin pergerakan politiknya yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di kota Bandung. Ide persatuannya lahir dalam bentuk tulisan yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” pada tahun 1926. Lahirlah karya-karya politiknya seperti Indonesia Menggugat pada tahun 1931, Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933. Asas atau ideologi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan dan dipimpin oleh Soekarno (1927). Dasar Marhaenisme ialah sosio demokrasi dan sosio nasionalisme yaitu asas kebangsaan yang berkemanusiaan dan sosio demokrasi yaitu asas kesamaan yang berdasarkan kebersamaan atau gotong royong. Baik istilah maupun dasar-dasar marhaenisme diciptakan dan dilahirkan oleh Ir. Soekarno semasa PNI lama (1927-1931) kemudian ditetapkan menjadi asas resmi PNI dalam sebuah manifes kongres PNI di Surabaya ke 6 (Desember 1952). Istilah marhaenisme diambil dari nama seorang petani gurem (petani kecil). Marhaenisme secara formal tidak pernah masuk dalam suatu dokumen resmi PNI periode 1927-1929 yang mungkin berupa pernyataan asas, misalnya meskipun banyak sekali dipropagandakan oleh Soekarno dan PNI.

PNI berdiri pada senin tanggal 4 Juli 1927. PNI adalah partai yang pertama yang membawa misi khusus untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia dengan tidak membedakan suku dan sebagainya dalam satu kekuatan yang maha hebat. Sesuatu kenyataan bahwa sampai lahirnya PNI di tanah air Indonesia, memang benar terdapat suatu organisasi politik yang dapat yang dipakai wadah perjuangan rakyat Indonesia yang tepat dan sanggup melaksanakan cita-cita rakyat yaitu tercapainya Indonesia merdeka secepat mungkin.

Gerakan-gerakan sebelumnya baik berupa perjuangan menentang penjajah dengan peperangan ataupun gerakan-gerakan yang diwujudkan dalam organisasi-organisasi yang berjuang atas dasar nasionalisme pada partisipasinya dapat dikatakan sebagai persatuan. Keadaan ini masih mencerminkan perpecahan yang telah mendalam diantara bangsa kita yang menjadi bukti suksesnya politik devide et impera Belanda.

Sejak lahirnya Budi Utomo kemudian diikuti oleh Indische Partij dan Sarekat Islam juga Partai Komunis Indonesia serta persatuan-persatuan pemuda lain. Kenyataan ini belum dikatakan sebagai persatuan karena masih diperlihatkan secara khas sifat kesukuan atau kedaerahan, keagamaan internasionalisme marxisme dan sebagainya, sehingga kurang terasa kerakyatannya dan akibatnya kurang menarik bagi golongan indonesia. Organisasi-organisasi yang telah lahir memiliki jasa yang sangat besar dalam rangka membangkitkan kesadaran nasional. Namun ini masih dirasa kurang ditegaskan dalam pelaksanaan cita-cita kemerdekaan nasional dan demokratis untuk seluruh bangsa dan rakyat Indonesia yang tidak terbatas oleh suku, ras, agama, dan budaya. Dalam suasana penjajah, Perserikatan Nasional Indonesia didirikan di Bandung yang dikenal dengan singkatan PNI, yang kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia pada sidangnya yang pertama di Surabaya.

 

Konsep Pemikiran Politik Soekarno

Menurut Soekarno asas perjuangan yang diperlukan agar mendatangkan keberhasilan dalam pergerakan massa adalah asas sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, sedangkan asas perjuangan adalah nonkoperasi, aksi masa, dan taktik jika perlu.

 

Marhaenisme sebagai Ideologi dan Cita-cita Perjuangan

Marhaenisme sebagai suatu ideologi perlu ditegaskan kedudukannya dalam sejarah pergerakan nasional. PNI merupakan partai pertama yang bertujuan untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia dengan tidak membedakan suku dan sebagainya. Untuk dapat menjelaskan kedudukan marhaenisme sebagai cita-cita dan perjuangan PNI, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari Ideologi. Marhaenisme dapat disebut sebagai suatu ideologi karena bersifat menyeluruh karena marhaen adalah sebutan untuk golongan rakyat Indonesia yang miskin dan menderita karena penjajahan. Marhaenisme merupakan ideologi yang prinsip-prinsipnya dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai dalam melangsungkan dan mengembangkan kehidupan nasional.

Sesuai dengan tujuannya maka PNI terbuka bagi setiap marhaen Indonesia, bergabung di dalamnya menjadi barisan yang revolusioner. Revolusioner itu berarti bersifat radikal, yang hendak mengubah secara cepat. Nasionalisme yang radikal dinamakan dengan cara propaganda agar rakyat menjadi sadar akan tujuan pergerakan Radikalisme dalam pergerakan nasional terutama bersumber pada paham komunisme, yang dalam hal ini terdapat pada Partai Komunis Indonesia.

Marhaenisme sebagai asas dan cara perjuangan untuk menentang kapitalisme dan imperialisme merupakan penjabaran atau praktek dari sosialisme Indonesia. Soekarno bermaksud menciptakan sosialisme Indonesia seperti yang dicita-citakan. Sosialisme yang dicita-citakan Soekarno adalah sosialisme campuran dan berTuhan. Bukan sosialisme materilisme ekstrem seperti yang diajarkan komunisme. Dengan tambahan marhaenisme dan semangat gotong royong itulah cita-cita dari Soekarno yaitu sosialisme Indonesia. PNI yang mayoritas anggotanya adalah marhaen menggunakan marhaenisme sebagai ideologinya.[1]

Lahirnya PNI ditandai juga dengan lahirnya suatu sistem pergerakan yang disebut pergerakan rakyat marhaen. Marhaenisme setelah itu menjadi suatu isme yang sangat besar pangaruhnya di dalam masyarakat Indonesia. Ia dijadikan asas bukan saja oleh PNI, tetapi juga oleh partai-partai besar lainnya di jaman penjajahan maupun setelah kemerdekaan.

PNI adalah partai politik pertama Indonesia yang berdasarkan nasionalisme, berasas marhaenisme serta bertujuan menyatukan seluruh persatuan bangsa tanpa membedakan golongan, suku, dan agama. Karena itu kehadirannya mempunyai arti penting untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Lewat PNI inilah gerakan kemerdekaan mencapai kemajuan yang menentukan dalam proses evolusi pergerakan kemerdekaan.

PNI mulai mengorganisasikan secara hati-hati, sebab sejak berdirinya dan beberapa tahun kemudian PNI memainkan pengaruh yang besar yang menentukan arah gerakan nasionalis. Tema utama dari propaganda PNI dalam masa permulaannya adalah kelanjutan dari tema-tema yang telah diajukan oleh Perhimpunan Indonesia yang antara lain usaha sendiri untuk mencapai kemerdekaan.

 

Marhaenisme Sebagai Konsep Politik Soekarno

Cita-cita PNI dapat disebut identik dengan pemikiran Soekarno selaku salah seorang pendiri dan pencetus Marhaenisme. Marhaenisme menghendaki hilangnya kolonialisme imperialisme di Indonesia. Pada awal berdirinya PNI, Soekarno mengubah Algemene Studie Club menjadi Partai Nasional Indonesia. Cita-cita PNI tidak berbeda jauh dengan dengan cita-cita Perhimpunan Indonesia. Nasionalisme yang radikal ditanamkan dengan cara propaganda agar rakyat menjadi sadar akan tujuan pergerakan. Trilogi PNI adalah jiwa nasional, tekad nasional, dan tindakan nasional.

Dengan cara penanaman Trilogi kepada rakyat Indonesia PNI ingin mengerahkan rakyat untuk memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial. Agar kondisi kemelaratan dapat tergambar jelas dalam pikiran rakyat Indonesia maka Soekarno melukiskan tentang pandangan sejarah yang khas bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami masa gemilang dan kini berada dalam keadaan penuh kesengsaraan. Menurut Soekarno akan tiba saatnya Indonesia dengan pimpinan PNI mencapai masa kegemilangan lagi.[2]

Dengan demikian PNI telah memasukkan diri kedalam kelompok partai nasionalis yang bercorak modern dalam masa kolonial, atau sebagai organisasi pergerakan nasional yang bergerak dalam bidang politik di Indonesia. Sejak berdirinya, PNI sangat aktif dalam kegiatan untuk persatuan dan kesatuan nasional Indonesia dan perbaikan nasib kaum marhaen dengan memperlihatkan dan mencari kelemahan dari kejahatan kolonialisme dan imperialisme secara terus-menerus.

 

Marhaenisme Sebagai Pandangan dan Pemikiran Dalam Beberapa Bidang.

Sebagai gerakan pembaharuan dalam pergerakan politik, PNI mempunyai pandangan dan pemikiran yang pada awalnya menitikberatkan pada pembentukan paham kebangsaan pada perkembangan selanjutnya mengeluarkan pandang dan pemikirannya di bindang lain. Hal ini disebabkan karena menurut PNI antara bidang yang satu dengan bidang lainnya saling berkaitan, sedangkan dasar PNI adalah nasionalisme yang mempunyai bidang yang luas. Masalah politik tidak hanya terbatas pada masalah hubungan dengan negara atau rakyatnya melainkan juga menyangkut masalah asas atau ideologi yang dianutnya.

 

Bidang Politik

Perjuangan PNI di bidang politik mempunyai pengaruh besar dikalangan pemuda, wanita, dan buruh. Disamping itu dari pihak PNI sejak berdirinya sangat mempengaruhi perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia karena dimana-mana gerakan PNI mendapat sambutan yang luar biasa khusunya di kalangan pemuda.

 

Bidang Sosial

Pengaruh dalam bidang sosial misalnya perjuangan PNI mendapat simpati yang besar dari golongan wanita Indonesia. Simpati dari golongan wanita Indonesia terhadap PNI disebabkan karena dalam daftar usaha PNI ditegaskan keinginan untuk memperbaiki wanita, memerangi perkawinan anak, memajukan perkawinan dengan istri satu. Begitu pula ajakan PNI untuk bersatu itu dapat didengar oleh kalangan kaum ibu yang ada pada kongres perempuan Indonesia pada tahun 1928 di Yogyakarta berhasil mendirikan suatu federasi: Perserikatan Perempuan Indonesia yang selanjutnya kemudian diubah menjadi: Perserikatan Perempuan Isteri Indonesia.

Pengaruh-pengaruh paham politik PNI terdapat pula di bidang pers, sewaktu pergerakan nasional mengadakan orientasi baru dari haluan Indonesia nasionalistis ke arah Indonesia Raya, yaitu ke arah Indonesia Raya yang merdeka, maka dengan sendirinya pers sebagai eksponen jiwanya mengalami juga pengaruh dari haluan baru itu.

 

Bidang Ekonomi

Di bidang ekonomi PNI giat mendirikan koperasi-koperasi dan sebagainya yang diantaranya Saudara Angron Sudirdjo Katif dalam menyumbangkan tenaganya di dalam koperasi yang didirikan oleh PNI.[3]

 

Reaksi Sekitar Pemikiran Soekarno

Permasalahan yang menjadi reaksi atas pemikiran Soekarno masih dalam lingkup masalah politik. Sebagai pembahasan reaksi-reaksi politik atas pemikiran Soekarno tentang marhaenisme yang muncul dari tokoh perkumpulan pemuda, yang banyak memberi kritik atas konsep politik Soekarno yang tertuang dalam marhaenisme sebagai konsep politik Soekarno. Setelah ditangkapnya Soekarno oleh pemerintah Belanda, pimpinan sementara PNI dipegang oleh Sartono. Dia menginstruksikan pembubaran partai. Sementara itu, Muhammad Hatta yang sudah sejak lama mengetuai Perhimpunan Pemuda Indonesia di negara Belanda menarik kesimpulan bahwa ia harus turun tangan secara aktif dalam peristiwa yang terjadi di tanah air. Muhammad Hatta telah mengatakan bahwa Soekarno mempunyai kontak yang terlalu sedikit dengan rakyat, dan hanya mengumpulkan tepuk tangan dalam rapat-rapat, padahal rakyat harus sepenuhnya diresapi oleh semangat Soekarno dan ini tidak dapat dicapai dengan agitasi saja. Menurut Hatta yang harus dilakukan dengan pergerakan itu adalah rakyat harus dididik dalam persoalan ekonomi, politik, dan sosial sehingga mereka dapat menyadari nilai dan hak-hak mereka sendiri. Mula-mula harus diawali dengan pendidikan para pemimpin yang akan mengemban semangat rakyat. Menurut Hatta, Soekarno hanya menggunakan nonkooperasi untuk membakar semangat, bukan untuk mendidik atau untuk mempersiapkan rakyat.

Hal yang dapat dicapai dengan agitasi semata-mata adalah hilangnya harapan, pemikiran, dan tindakan setelah pemimpinnya ditangkap. Seorang pemimpin kharismatik yang nekad berdiri tinggi diatas rakyat tahu apa yang harus diperbuat di dalam setiap situasi yang menjanjikan pertolongan kepada mereka berpikir dan bertindak untuk mereka jika ia ditangkap maka hilanglah segala harapan, pikiran, dan tindakan. Demikian yang terjadi pada Soekarno menurut Moh.Hatta, itulah kelemahan-kelemahan PNI menurut Moh.Hatta.

Reaksi terhadap pemikiran Soekarno selain dari Moh.Hatta juga datang dari Sjahrir. Sekembalinya Sjahrir dari negeri Belanda, kemudian ia menegaskan tentang perbedaan dalam hakikat dan tujuan partai. Sjahrir mengajukan tuntutan: bahwa setiap orang yang mengambil bagian dalam perjuangan di bidang politik dan kemerdekaan harus terlebih dahulu melakukan analisa sejarah masa lampau, harus mengkaji langkah yang salah dan semua kecenderungan yang membahayakan pergerakan, kemudian menarik pelajaran dari hal tersebut.

Menurut Sjahrir, Soekarno dalam memimpin organisasinya sering menggunakan cara berpikir yang didasarkan kepada hal yang irasional yaitu yang didasarkan atas kepercayaan pada jimat-jimat dan perang suci.[4]

 

Muhammad Hatta

Kekaguman Bung Hatta terhadap PNI dituangkan lewat artikel-artikelnya seperti, “Derap Langkah Baru” (Niuewe opmars), yang dimuat di Indonesia Merdeka, 1928, yang memuji PNI telah berhasil membawa kesadaran pada massa dan menggerakan massa untuk berdiri di belakangnya. Dalam artikelnya, “De Groei van de PNI en de Regeringsterreur in Indonesie” (1930), Bung Hatta mengatakan bahwa ideologi dan gerakan PNI sama dengan PI. Di artikel lainnya, “De Razzia tegen de Partai Nasional Indonesia” (Razia terhadap PNI), Januari 1930, Bung Hatta menuduh korps kepolisian dimobilisir untuk menghantam PNI. Bahkan, dengan sindiran tajamnya, Bung Hatta menambahkan bahwa pemerintah kolonial hanya mempercayai agen provokator, yakni cecunguk-cecunguk Belanda yang membayangi para pemimipin, dengan melaporkan hal yang tidak-tidak kepada atasannya. Di sisi lain, Bung Hatta mengingatkan agar perjuangan diteruskan, dengan catatan tindakan pemerintah akan lebih kejam lagi, seperti yang dialami oleh Sarekat Islam dengan afdeling B (tuduhan memberontak terhadap pemerintah).

 

Konsep Pemikiran Muhammad Hatta

Pemikiran Bung Hatta tak jarang dikagumi oleh Bung Karno. Secara tak langsung, sintesa Bung Karno saat itu sedikit banyak menyerap apa yang telah dikemukakan oleh Bung Hatta dan PI sejak tahun1923, akan tetapi Bung Karno dalam membuat sintesanya dengan cara yang mudah diserap masyarakat. Pengaruh dari pledoi Bung Hatta, khususnya dalam sikap non kooperasi, juga banyak mengilhami pemikiran dari Bung Karno. Akan tetapi, akhirnya sejarah berbicara lain, sebab kemesraan Bung Karno dan Bung Hatta itu mulai terganggu, bahkan akhirnya mereka akhirnya kerap berpolemik secara tajam.

Bung Hatta juga meimiliki doktrin yang selalu dibekalkan kepada para anggota Perhimpunan Indonesia, bahwa tugas ialah memimpin gerakan nasionalis. Karena itu, mereka kerap bertindak sebagai “guru”. Doktrin ini masih terus tertanam di sebagian mantan anggota PI, khususnya yang sejalan dengan pemikiran Bung Hatta. Indikasi ini setidaknya bisa dibaca dari sikap Ali Sastroamidjojo (yang telah kembali ke tanah air dan menjadi anggota PNI) yang mencoba “mengajari” bagaimana seharusnya PNI berjuang: dengan sikap non-kooperasi tapi kompromis, seperti pandangannya ketika diinterogasi di Pengadilan Den Haag yang kemudian pandangannya tersebut didukung oleh Bung Hatta.[5]

 

Kritik dan kekecewaan Bung Hatta.

Dalam perkembangannya, agaknya bung Hatta kecewa dengan sepak terjang PNI yang dianggapnya tak lagi sejalan dengan pemikirannya. Sementara, ia ternyata tak bisa mengendalikan PNI dari jauh seperti yang diharapkannya. Akan tetapi, sebenarnya Bung Hatta (termasuk PI) sendiri yang kemudian malah berubah haluan: menjalankan politik ambivalen dalam prinsip non-kooperasi. Sikap non-kooperasi itu tetap harus melihat realitas politik yang ada. Artinya, non kooperasi itu tidak harus mutlak hantam kromo, tidak harus radikal dalam berseberangan dengan pemerintah Belanda. Karena itu, selama rakyat belum dididik dan dipersiapkan ke arah kemerdekaan, kita perlu memberikan kepercayaan kepada penguasa (Belanda).

Disini tampaknya terjadi pergeseran dari sikap perjuangan non-kooperasi yang dijunjung oleh Bung Hatta. Bung Hatta mulai tak lagi seradikal sebelumnya. Bahkan cenderung terpengaruh prinsip non-kooperasi Ali Sostroamidjojo. Atau, boleh jadi, perubahan sikap Bung Hatta ini didasari oleh pengalamannya ketika diadili di Belanda dimana akhirnya hakim-hakim Belanda (yang bisa dianggap mewakili pemerintah Belanda) telah “membelanya” dengan membebaskannya. Dan hal itu, baginya, memungkinkan terbukanya sikap non-kooperasi untuk disesuaikan dengan realitas politik, karena buktinya, sikapnya itu masih dilindungi oleh hukum dari pemerintah Belanda. Ketika di Belanda, Bung Hatta mengamati pergerakan di tanah air berdasarkan informasi dari surat-surat yang ia terima dari Sartono, Ali Sastroamidjojo, Soedjadi, dan teman-teman.[6]

Dalam hal membangun organisasi, PNI menganggap kritik Bung Hatta tidak benar. Sebab, bagaimanapun pengurus pusat PNI telah berusaha sekuat tenaga membangun organisasi yang kuat sebelum membentuk keanggotaan massal. Memang dalam hal jumlah anggota PNI tidak bertambah cepat, karena propaganda politiknya mengingatkan orang pada PKI yang telah dibubarlan. Selain itu, untuk menjadi anggota PNI itu sulit, karena untuk jadi kader-kader saja mereka harus mengikuti kursus-kursus serta harus lulus ujian akhir agar bisa menjadi anggota penuh. Kendati demikian, sampai Desember 1929 jumlah anggota PNI terus bertambah; dari 2.740 orang pada 16 September 1929 menjadi 5.756 orang pada tanggal 28 Desember 1929, atau rata-rata seribu anggota baru setiap bulannya, padahal PNI saat itu mendapat tekanan hebat dari pemerintah Kolonial.

Dengan kondisi realitas keanggotaan yang meningkat itu, tentunya kritik Bung Hatta tidak bisa diterima. Itulah sebabnya Bung Hatta oleh PNI dianggap tidak memahami permasalahan pergerakan di tanah air. Meskipun begitu Bung Hatta tetap merasa prihatin dengan arah perkembangan PNI oleh karena gaya kepemimpinan Bung Karno. Berdasarkan laporan-laporan pers Eropa di Hindia Belanda, Bung Hatta khawatir pemerintah Belanda akan melakukan tindakan represif dengan melakukan penahanan terhadap Bung Karno. Dan jika itu terjadi, Bung Hatta menilai penahanan itu akan menjadi suatu pengorbanan yang terlampau berat bagi PNI.

Akhirnya terlihat jelas bahwa pemikiran Bung Hatta berbeda dengan strategi Bung Karno. Di satu sisi, Bung Hatta menganjurkan PNI membentuk gerakan massal yang tentunya hanya bisa dilakukan dengan cara yang ditempuh oleh Bung Karno, tetapi disisi lain Bung Hatta mencoba realistis, dengan melihat masih kuatnya pemerintah kolonial Belanda yang dapat menghancurkan para pejuang nasionalis, sehingga menyarankan kepada Bung Karno untuk keluar dari Indonesia.[7]

 

DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, 1999, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Giebels, Lambert, 2001, Soekarrno: Biografi 1901-1950, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Ingleson John, 1983, Jalan Menuju Pengasingan, Jakarta: LP3ES.

Pringgodigdo SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: DIAN RAKYAT.

Sudiyo, Drs., Perhimpunan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

Tashadi, dkk., 1999, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir. Soekarno dan K.H. Ahmad Dahlan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Wawan Tunggul Alam, 2005, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno VS. Bung Hatta, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

http://darielszone.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-pni.html, Surakarta, Rabu, 1 April 2015, Pukul 16.22 WIB.

http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-partai-nasional-pni-latar-belakang-tujuan-tokoh.html, Surakarta, Selasa, 31 Maret 2015, Pukul 19.20 WIB.

http://uussusangka.blogspot.com/2013/10/perjuangan-politik-mohammad-hatta-tahun.html, Surakarta, Jumat, 3 Maret 2015, Pukul 06.10 WIB.

http://chaerolriezal.blogspot.com/2013/06/pendidikan-nasional-indonesia-baru-pni.html, Surakarta, Rabu, 1 April 2015, Pukul 17.35 WIB.


[1] Drs. Tashidi, dkk., Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir Soekarno dan K. H. Ahmad Dahlan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hlm. 33.

[2] Ibid., hlm. 39.

[3] Ibid., hlm. 44.

[4] Ibid., hlm. 47.

[5] Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno VS. Bung Hatta, (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2005), hlm.44.

[6] Ibid., hlm. 46.

[7] Ibid., hlm. 49.

Title : Tokoh-tokoh yang Berperan Dalam PNI (Partai Nasional Indonesia) dan pemikirannya Bagi Pergerakan Nasional di Indonesia
Description : Soekarno dan Pemikirannya Untuk PNI Soekarno merupakan seorang pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam usahanya untuk mengembangkan...

0 Response to "Tokoh-tokoh yang Berperan Dalam PNI (Partai Nasional Indonesia) dan pemikirannya Bagi Pergerakan Nasional di Indonesia"

Facebook

Dilindungi