Contoh Makalah Struktur Sosial dan Karakteristik Masyarakat Pesisir Jawa

· Masyarakat Pesisir Utara Jawa

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.

Sama halnya dengan masyarakat pesisir di berbagai tempat, masyarakat pesisir di utara pulau Jawa juga seperti itu. Masyarakat pesisir memang terkenal dengan perwatakannya yang sangat keras. Ini bukan tanpa sebab, tetapi dikarenakan pola hidup mereka yang sangat tergantung dengan alam. Di kawasan pesisir utara Jawa ini yang sebagian besar penduduknya bekerja menangkap ikan, sekelompok masyarakat nelayan merupakan unsure terpenting bagi eksistensi masyarakat pesisir. Mereka mempunyai peran yang besar dalam mendorong kegiatan ekonomi wilayah dan pembentukan struktur social budaya masyarakat pesisir. Sekalipun masyarakat nelayan memiliki peran sosial yang penting, kelompok masyarakat yang lain juga mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat.

 

Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya adalah menangkap ikan. Sebagian hasil tangkapan tersebut dikonsumsi untuk keperluan rumah atau dijual seluruhnya. Biasanya isteri nelayan akan mengambil peran dalam urusan jual beli ikan dan yang bertanggung jawab mengurus domestic rumah tangga.Ada beberapa karakteristik yang bisa kita lihat dari penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan yaitu:

 

Ø Pendapatan nelayan bersifat harian(daily increments) tidak dapat ditentukan jumlahnya karena pendapatan sangat tergantung oleh musim maupun status nelayan itu sendiri

 

Ø Tingkat pendidikan nelayan redah sehingga tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan selain meneruskan pekerjaan sebagai nelayan

 

Ø Nelayan, lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar dan produksinya tidak berhubungan dengan makanan pokok. Artinya produk perikanan mudah rusak dan harus segera dipasarkan.

 

Ø Permodalan perikanan(kenelayanan) membutuhan investasi yang besar dan mengandung resiko dibandingkan dengan sector pertanian.

 

Ø Income yang diperoleh setiap harinya oleh nelayan disebabkan pula terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung ikut andil dalam faktor produksi.

 

Karakteristik diatas telah mendarah daging dalam kehudupan nelayan. Walaupun pada musim tertentu pendapatan nelayan sangat tinggi tetapi pada musim-musim berikutnya pendapatan nelayan sangat kecil bahkan tidak ada. Nelayan juga mempunyai pola hidup konsumtif. Jadi, pada saat pendapatan mereka tinggi pola konsumsi mereka juga ikut tinggi. Akan tetapi pada saat pendapatan rendah mereka tetap bertahan hidup dengan cara menjual barang-barang berharga mereka atau hutang-piutang dengan bunga yang sangat tinggi. Hutang piutang ini sangat tidak sehat. Bunga yang ditawarkan oleh pemilik uang sebesar 20-50% jika dibayar dengan tetap waktu. Apabila ada keterlambatan pembayaran maka akan di kenakan denda sesuai kesepakatan. Inilah yang menyebabkan nelayan tetap berada dalam garis kemiskinan.

 

Hubungan patron klien juga bisa dilihat secara nyata pada masyarakat nelayan. Hubungan ini berdasarkan kepemilikan modal maupun kapal. Unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang ikan berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu) (orenga, Madura), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh (pandhiga, Madura) dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung. Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan.

 

Masyarakat Pesisir utara Jawa menunjukkan beberapa ciri diantaranya sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko, Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Di samping itu cara hidup orang Jawa Pesisir cenderung boros dan menyukai kemewahan, dan suka pamer. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit. Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti kayi daripada pejabat pemerintah.

 

Masyarakat Pesisir utara Jawa dapat dibedakan pada penduduk yang tinggal di desa-desa Pesisir, dan penduduk yang tinggal di kota-kota, seperti kota kabupaten. Penduduk yang tinggal di desa-desa, memiliki corak pekerjaan yang beragam, tetapi yang dominan adalah pertanian sawahsemi tradisional sehingga tingkat keberhasilannya masih banyak bergantung pada “derma alam”) sementara itu, minat penduduk Pesisir Jawa terhadap  dunia kelautan masih sangat kecil, dan dari jumlah yang sangat kecil itu, umumnya masih berada pada nelayan tradisional, sehingga gambaran mengenai kehidupan umumnya nelayan di Jawa ini masih sangat memprihatinkan. Yang terjadi kemudian adalah para nelayan masih tetap terpuruk ke dalam kemiskinan, dan sebagian dari para petani sawah (apalagi yang buruh tani) mulai kehilangan “kepercayaan diri” terhadap atau untuk mengandalkan hasil pertanian sehingga sebagian dari para petani itu menjual sawah-sawahnya dan beralih kepada usaha dagang atau jasa, sementara para buruh tani berpindah orientasi kerja menjadi buruh lepas, menjadi buruh pabrik, atau migrasi ke kota. Kalau dihitung secara statistik, penduduk usia muda yang meninggalkan desa dan mengadu nasib ke kota-kota besar, jumlahnya sangat besar dan secara hepotesis akan semakin membengkak tajam.

 

Secara geografis daerah – daerah di pesisir utara Jawa meliputi beberapa daerah seperti Jepara, Cirebon, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Tuban, Probolinggo, Situbondo, Pekalongan, Rembang, serta beberapa daerah lainnya. Daerah – daerah yang termasuk ke dalam pesisir utara Jawa ini tentunya memiliki struktur atau lapisan sosial dan karakteristik yang meliputi perilaku, sikap, dan mental yang berbeda – beda. Hal ini tentunya akan dibahas lebiha lanjut agar bisa membedakan antara daerah satu dengan daerah lainnya di pesisir tara pulau Jawa.

 

A. Jepara

Jepara merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah yang terdapat di pesisir utara pulau Jawa. Sama seperti halnya daerah lain di pesisir, Jepara memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mata pencaharian utamanya adalah sebagai nelayan. Memang di daerah pesisir memang sangat menggantungkan kehidupannya ke laut. Walaupun begitu Jepara juga dikenal sebagai kota ukir karena banyak warganya yg memiliki keahliah dalam bidng mengukir. Namun Tetap saja yang paling mencolok dari daerah pesisir Jepara ini adalah aktivitas nelayan yang ada di daerah tersebut.

 

Dalam kehidupan masyarakat Jepara ini terdapat stratifikasi sosial yang berkaitan erat dengan kehidupan nelayan sebagai mata pencaharian utama di daerah tersebut. Salah satunya yaitu di masyarakat nelayan desa Ujungwatu tersusun atas tiga kelas sosial, yaitu kelompok nelayan kaya (juragan darat), nelayan sedang (juragan laut), dan nelayan miskin (nelayan buruh/pandega/jurag). Pertama, juragan darat terdiri dari para nelayan kaya yang memiliki seluruh peralatan melaut seperti perahu, motor tempel, jaring dan peralatan laut lainnya, tetapi mereka tidak secara langsung ikut melaut. Kedua, juragan laut termasuk kelompok nelayan menengah yang memilki peralatan melaut tetapi mereka selalu melaut sebagai pimpinan perahu/nahkoda. Ketiga, kelompok nelayan miskin atau nelayan buruh yang tidak memiliki peralatan utama melaut, sehingga mereka selalu bekerja pada juragan darat atau juragan laut.

 

Hubungan kerja melaut antara pihak juragan dengan pihak nelayan buruh ditandai adanya hubungan ekonomi dan sosial. Artinya, hubungan ekonomi dan sosial ini ternyata tidak bisa dipisahkan sebab terpatrinya hubungan sosial sehari-hari akan menentukan secara ekonomis, dan sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh orientasi nilai budaya masyarakat nelayan desa Ujungwatu masih dilingkupi oleh warna kebersamaan dan ciri-ciri masyarakat egaliter masih tampak jelas.Selain itu, hubungan antara juragan baik juragan darat maupun juragan laut dengan pandega atau nelayan buruhnya memperlihatkan adanya hubungan secara vertikal. Hubungan kerja antara pihak pemilik perahu (juragan) sangat menetukan kontinuitas dan volume pekerjaan. Pihak pandega atau nelayan buruh yang memiliki hubungan kerja secara baik dengan nelayan pemilik secara otomatis akan mendapatkan volume kerja yang lebih stabil, sehingga pihak nelayan buruh yang seperti ini oleh masyarakat nelayan di desa Ujungwatu menyebut orang kepercayan juragannya.

 

Secara Umum kehidupan masyarakat pesisir di daerah Jepara memang hampir sama dengan orang Jawa pada umumnya dan orang pesisir Jawa pada khususnya. Masyarakat di Jepara juga memiliki perwatakan yang keras dengan sikapnya yang cenderung lugas dan spontan. Kesamaan lainnya tentunya seperti yang telah dijelaskan yaitu kehidupannya yang sangat tergantung dengan laut membuat pekerjaan nelayan menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat pesisir Jepara. Namun pekerjaan lainnya tentu saja juga ikut membantu dalam kemajuan perekonomian yang ada di Jepara dan struktur sosial juga terlihat jelas dan masih ada di Masyarakat Jepara.

 

B. Cirebon

Masyarakat Cirebon adalah masyarakat pesisir yang sama seperti halnya masyarakat pesisir di kota-kota lainya. Ciri khas dari masyarakat pesisir adalah masyarakatnya yang beranekaragam. Hal tersebut terjadi karena biasanya masyarakat yang ada di kota pesisir adalah pendatang, yang melakukan kegiatan dan hubungan dagang. Mereka datang dari berbagai daerah baik lokal maupun internasional. Masyarakat yang datang dari mancanegara biasanya membentuk kampung-kampung sendiri dan kampong tersebut pun diberi nama tersendiri berdasarakan negara-negara masing-masing.

 

Di daerah Cirebon memang ramai didatangi orang Arab, Cina dll. Contohnya Kampung Pecinan yang penghuninya adalah komunitas Cina, Kampung Arab yang penghuninya adalah orang-orang dari Arab dll. Selain itu nama-nama kampong juga di berikan berdasarkan profesi penghuninya. Misalnya Kauman adalah tempat para orang yang berilmu atau para pemuka agama dan Ksatrian adalah tempat tinggalnya para prajurit sedangkan Kademangan adalah tempatnya para demang-demang kraton.

 

Yang paling menonjol dan dapat kita contoh dari masyarakat pesisir Cirebon adalah menpunyai sikap konsisten yang tinggi antara sikap dan kehendak, antara kata dan perbuatan, serta antara sikap lahiryah dan kehendak. Hal ini dikarenakan agama Islam di masyarakat Cirebon sangat kental dan sangat berkembang pesat. Sikap lainnya yanga da di masyarakat Cirebon adalah sikap pasrah terhadap takdir. Hal ini merupakan pengaruh dari nilai – nilai keislaman yang diajarkan oleh para wali. Bahkan satu semboyan yang terkenal di masyarakat Cirebon adalah sedikit bicara banyak bekerja.

 

Berhubungan dengan semboyan itu masyarakat di Cirebon yang memang sama halnya dengan daerah lain yaitu bekerja sebagai nelayan membuat masyarakat di Cirebon memiliki etos kerja yang tinggi. Masyarakat di Cirebon memiki keinginan kuat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari – hari. Meskipun tidak semua nelayan memiliki perahunya sendiri atau hanya sebagai nelayan bawahan, namun setidaknya mereka tetap bisa mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhannya sehari – hari dengan pekerjaannya sebagai nelayan.

 

C. Situbondo

Kota ini terletak di daerah pesisir utara pulau Jawa, dikelilingi oleh perkebunan tebu, tembakau, hutan lindung Baluran dan lokasi usaha perikanan. Dengan letaknya yang strategis, di tengah jalur transportasi darat Jawa-Bali, kegiatan perekonomiannya tampak aktif. Situbondo mempunyai pelabuhan Panarukan yang terkenal sebagai ujung timur dari Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan di pulau Jawa yang dibangun oleh Daendels pada era kolonial Belanda.

 

Situbondo memiliki garis pantai sepanjang 150 Km, dan hampir sebagian besar masyarakat situbondo terkonsentrasi atau bertempat tinggal di daerah pesisir hal ini mrnunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Situbondo mayoritas adalah dalam bidang penangkapan ikan atau nelayan dan pengolahan hasil laut. Masyarakat  pesisir Situbondo dikenal sebagai masyarakat yang cukup kuat memegang tradisi. Ada berbagai macam tradisi baik dalam bidang keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi yang hidup dan berkembang secara dinamis di  Situbondo. Secara historis, tradisi yang dimiliki masyarakat pesisir Situbondo tidak berbeda jauh dengan tradisi pada masyarakat pesisir Madura, yakni masih memiliki pertalian dengan nilai-nilai yang pernah dianut masyarakat pada masa kerajaan Hindu dan Islam.

 

Karakter masyarakat pesisir Situbondo, selain dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, juga dipengaruhi oleh faktor alam. Banyak orang menghubung-hubungkan karakter masyarakat pesisir Situbondo yang santun dan hangat tapi juga bisa tegas dan keras, bersahaja tapi juga gigih dan ulet. Anggapan tersebut muncul karena masyarakat pesisir Situbondo di dominasi oleh masyarakat yang berasal dari Pulau Madura.[1]

Kreativitas masyarakat Situbondo sejak zaman dahulu telah terbukti dapat menghasilkan alternatif-alternatif yang dapat menggerakkan perekonomian di tengah keterbatasan alam. Kegigihan dalam bekerja keras juga ditunjukkan masyarakat pesisir Situbondo yang bekerja pada bidang perikanan. Misalnya, nelayan Situbondo yang terkenal memiliki falsafah: asapok angen abental ombek (berselimut angin berbantal ombak) yang memiliki arti bahwa mereka (para nelayan) memiliki sifat pantang lelah dan berputus asa dalam berusaha atau bekerja. Begitu juga dengan para pedagang dan perantaunya yang sangat dikenal dengan keuletan dan kreativitasnya.

 

Prinsip masyarakat pesisir Situbondo yang masih memegang tradisi yang kental mengakibatkan kurang berkembangnya perekonomian disana, meskipun dusah diimbangi dengan etos kerja yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kreativitas yang dimiliki masyarakatnya masih bersifat tradisional, padahal posisi geografisnya  sudah sangat mendukung karena berada di jalur pantura. Karena perkembangan perekonomian yang lambat mengakibatkan pembangunan diwilayah pesisir Situbondo juga menjadi terlambat. Sedangkan pada daerah kota Situbondo pembangunan bergerak maju sesuai dengan wilayah-wilayah yang maju dalam perekonimiannya yang dalam artian daya kreativitas sudah maju, berkembang sesuai mengiikuti zaman globalisasi.

 

Sehingga rata-rata lapisan sosial yang ada pada masyarakat pesisir di Situbondo masih tergolong dalam golongan menengah ke bawah. Karena mayoritas masyarakatnya masih berpegang pada prinsip tradisional. Berbeda dengan masyarakat diluar daerah pesisir yang sudah mulai berkembang maju yang terpengaruh oleh globalisasi modern. Dengan itu, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat pesisir Situbondo kebanyakan masih rendah. Namun terdapat beberapa orang pesisir yang juga mengikuti perkembangan zaman hingga meningkatkan segi perekonomian juga dan tingkat kesejahteraannya juga lebih terjamin. Tapi hal itu masih sedikit karena masyarakat pesisir Situbondo tetap bersikukuh memegang prinsip tradisional.

 

D. Probolinggo

Karakteristik masyarakat pesisir Probolinggo budaya agraris (petani dan nelayan). Yang penduduknya sebagian besar merupakan suku Jawa dan Madura yang terkenal ulet, lugas, terbuka, dan kuat dalam mengarungi kehidupan (berjiwa wiraswasta tinggi). Perpaduan masyarakat dan budaya yang masih asli dicerminkan dengan gotong royong dan pengaruh Islam yang sangat kuat.

Masyarakat pesisir mayoritas mata pencaharian nelayan dengan basis warganya beragama islam sangat memungkinkan adanya kearifan lokal dengan dasar agama islam yang bisa digunakan sebagai profil kearifan lokal asli dipesisir sebagai acuan dalam pengelolaan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Sehingga dalam kehidupan masyarakat pesisir, jalannya perekonomian, agama dengan kelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan tanpa ada salah satu yang tersisih.[2]

 

Salah satu cara masyarakat pesisir Probolinggo dalam menghadapi masa paceklik ikan (penghasilan menangkap ikan berkurang) adalah dengan Andun yaitu suatu proses perpindahan sementara dalam usaha penangkapan ikan oleh nelayan dikarenakan beberapa kendala salah satunya yaitu pengaruh cuaca yang buruk. Adanya angin gending dimana angin sangat kencang ditengah laut dan ombak sangat ganas, meskipun ikan melimpah tetapi nelayan enggan untuk menukar resiko keselamatan mereka. Diantara dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan terdapat musim pancaroba yang biasanya ditandai dengan tiupan angin kering yang cukup kencang yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Laut biasa disebut “Angin Gending”. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat pesisir untuk melakukan penangkapan ikan. Untuk musim kemarau yang berkisar pada bulan April hingga bulan Oktober dengan rata-rata curah hujan + 29,5 mm per hari hujan, sedangkan musim penghujan dari bulan Oktober hingga bulan April dengan rata-rata curah hujan + 229 mm per hari hujan. Curah hujan yang cukup tinggi terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret dengan rata-rata curah hujan + 360 mm per hari hujan. Umumnya para nelayan pada pesisir Probolinggo pergi ke daerah Paiton (perbatasan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo) dan Kabupaten Pasuruan. Proses andun sendiri dilakukan dengan membawa kapal dan seluruh ABK yang berkenan untuk ikut dalam andun kelokasi yang ditentukan oleh Fhising master atau kapten kapal. Umumnya jika terjadi angin gending, yaitu pada bulan-bulan Agustus hingga September dan awal-awal November.[3]

 

Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan Probolinggo adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran, rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan kontribusinya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung kepada individu yang bersangkutan.

Lapisan sosial di masyarakat pesisir Probolinggo sudah lebih pada tingkatan yang lebih maju. Karena masyarakatnya tidak hanya mengandalkan penghasilan sebagai nelayan, tapi juga di berbagai sektor lainnya yang masih berhubungan dengan laut maupun pesisir, yaitu pariwisata, perdagangan dan jasa, dan pengembanan sumber daya manusia sektor perikanan.

 

E. Rembang

Kota Rembang juga termasuk ke dalam daerah Pesisir Utara Jawa. Salah satu yang mencolok dan bisa kita lihat sturktur dan karakteristik masyarakat Pesisir Utara Jawa adalah di kawasan pemukiman nelayan Desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah masih memiliki karakteristik lingkungan pemukiman yang terletak pada area Sub Urban dan merupakan bagian dari pemukiman nelayan kota, yang juga terpengaruh oleh perkembangan wilayah Kota Rembang pada umumnya. Di desa Tasik Agung, persaingan ekonomi sangat ketat. Seiring dengan persaingan itu banyak orang yang mulai mengembangkan usahanya, yang awalnya nelayan biasa kemudian mencari modal (pinjaman koperasi) untuk membeli kapal dan peralatan melaut. Hal ini karena keuntungan yang diperoleh akan lebih besar apabila sarana dan prasarananya mendukung keberhasilan. Orang yang memiliki kapal dipandang lebih terhormat dibandingkan nelayan biasa lainnya.

 

Dalam kaitannya dengan pranata pendidikan di Tasik Agung terdiri mulai dari TK sampai dengan SMP pranata ini berfungsi untuk memberikan pedoman pada masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku. Pranata agama di Tasik Agung meliputi agama islam, kristen, katholik, didalam pranata ini yang berperan besar islam karena kebanyakan orang disini berasal dari agama islam. Dalam mengambil keputusan pun masyarakat masih meminta pendapat kyai disana yang dianggap sebagai orang yang disegani dan dihormati dalam masyarakat. Interaksi yang terjadi di masyarakat kampung nelayan kabupaten Rembang, muncul dalam bentuk kerjasama untuk membeli alat perlengkapan mencari ikan. Dalam hal ini mereka mengumpulkan uang atau iuran untuk membeli alat melaut. Selain itu mereka juga bekerjasama dalam mengolah ikan dan pengemasannya. Dikarenakan ada beberapa masyarakat yang mempunnyai tempat untuk pengemasan atau tempat pengolahan, maka masyarakat bekerja dengan saling membantu.

 

Masyarakat disinipun masih sangat menjunjung tinggi solidaritas, terbukti apabila ada yang sakit, maka tetangganya semuanya akan menjenguknya tanpa dikomando. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa  di dalam masyarakat Rembang ini tidak jauh dari pertikaian. Pertikaian akan muncul ketika menyangkut dengan adat. Selama ini kebijakan yang diputuskan oleh kepala desa masih bisa diterima oleh warga, seperti kerja bakti untuk membersihkan tempat yang digunakan untuk pengolahan, dalam waktu 1 minggu sekali. Sebenarnya setiap orang mempunnyai perbedaan pendirian, pemikiran, dan perasaan yang akan melahirkan bentrok atau pertikaian antar individu, namun dalam masyarakat Rembang seorang kepala desa dan tokoh masyarakat atau yang dituakan mempunnyai peranan yang penting. Peranan dari mereka, selalu berusaha menyatukan perbedaan pemikiran atau persepsi tersebut, dengan berbagai keputusan yang dimusyawarahkan agar tidak terjadi pertikaian.

 

Dalam masyarakat nelayan ini juga tidak lepas dari suatu persaingan, namun persaingannya lebih ke bidang ekonomi atau perdagangan. Penyebab dari munculnya hal ini karena semua nelayan ingin mendapatkan pembeli dan ikan yang banyak, tetapi ada beberapa kendala yang mereka hadapi seperti, alat yang digunakan nelayan, yang mempunnyai modal yang besar lebih mudah mendapatkan ikan dengan alat yang modern, namun mereka yang mempunnyai modal yang kecil ada suatu kendala dalam alat yang digunakan untuk menacari ikannya. Namun persaingan ini tidak terlalu kelihatan dan tidak sampai merusak kerukunan antar nelayan atau antar kelompok nelayan yang ada di rembang. Persaingan yang dilakukan masih dalam batas kewajaran, tidak sampai menimbulkan konflik atau perpecahan yang merugikan orang lain.

 

F. Pekalongan

Kota Pekalongan merupakan kota yang sangat strategis karena berada di jalur pantai utara,sehingga banyak orang yang melaluinya. Pekalongan merupakan salah satu kota yang terletak di wilayah pesisir utara Provinsi Jawa Tengah yang berjarak kurang lebih 101 km ke arah barat dari Ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Secara geografis, Pekalongan memiliki posisi strategis berada di jalur penghubung antara kota-kota di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jalur penghubung berupa jalur utara arteri Pulau Jawa atau biasa disebut jalur pantura. Jalur ke barat dari Pekalongan menuju Tegal, Pemalang dan Cirebon, sedang ke timur menuju Kendal dan Semarang, serta ke selatan bisa menuju Banjarnegara untuk menuju jalur arteri selatan Pulau Jawa.

 

Desa Krapyak Lor, Kecamatan Pekalongan Utara merupakan salah satu desa yang berada sekitar 200 meter dari bibir pantai utara daerah Pekalongan. Desa Krapyak Lor sendiri memiliki salah satu pantai yang sangat terkenal di Pekalongan yakni Pantai Slamaran. Wilayah Desa Krapyak Lor banyak terdapat lahan gambut khas pesisir pantai yang dimanfaatkan sebagai petak lahan untuk pertambakan ikan dan udang disamping juga terdapat lahan yang kosong dan ditumbuhi tanaman khas rawa. Meskipun berdekatan dengan daerah pantai tidak membuat masyarakat yang ada disana memiliki mata pencaharian sebagai nelayan saja ini diakibatkan bahwa akses menuju kota sudah sangat mudah terlebih jarak yang tidak terlalu jauh dengan pusat kota dan pusat pemerintahan. Namun, ketidakberaturan mata pencaharian dan tingkat pendidikan yang tidak menentu menjadikan cultur masyarakat didaerah pesisir menjadi carut marut baik untuk permasalahan ekonomi dan spiritual.

 

Hal yang menarik dari kota ini adalah keragaman etnis, yang seperti kota-kota pesisir lainnya, setiap etnis terpusat pada daerah-daerah tertentu, seperti masyarakat non-pribumi (etnis tionghoa) yang mayoritas berada di Kampung Bandarsih, masyarakat keturunan Arab yang terpusat di Noyotaan. Pemilihan kode bahasa dalam masyarakat keturunan Arab di Noyontaan, Kota Pekalongan merupakan fenomena menarik untuk dicermati dari perspektif sosiolinguistik. Di masyarakat keturunan Arab di Noyontaan mereka kerap menggunakan bahasa masyarakat tutur yang mencakup variasi bahasa bahasa, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Hubungan antar etnis, khususnya antara masyarakat Jawa dan Arab sangat membaur karena sikap komunikasi mereka yang cenderung terbuka, ramah dan bersahabat sebab mayoritas masyarakat Pekalongan memiliki jiwa dagang yang kental.

 

G. Tuban

Warga masyarakat Kota Tuban mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Setiap keunikan yang ada membuat setiap hal menjadi kian beragam. Sebagai warga masyarakat kota Tuban, tentu saja hal-hal yang berbeda sangat mudah untuk diketahui. Ada beberapa ciri khas masyarakat Kota Tuban yang sangat terkenal hingga ke pelosok negeri. Hal yang unik tersebut melekat hingga kini dan mudah dijumpai setiap saat. Untuk lebih jelasnya tentang ciri khas apa saja yang paling menonjol, berikut ini merupakan ciri khas tersebut yang dirangkum dalam tata bahasa yang eksklusif persembahan untuk tanah kelahiran tercinta.

 

Warga masyarakat kota Tuban terbiasa hidup bergotong-royong dalam berbagai aktivitas. Dalam setiap acara sosial, warga masyarakat Kota Tuban tidak perlu diundang. Saat mereka melihat atau mendengar tetangga mereka akan punya hajat atau yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama “Duwe Gawe”, maka para tetangga tanpa di komando akan langsung berdatangan. Mereka saling membantu tanpa pamrih. Sejak zaman dahulu kala ketika Kota Tuban masih berupa Kerajaan, masyarakat kota Tuban telah terbiasa hidup dalam tatanan masyarakat yang penuh dengan jiwa sosial. Sifat turun temurun tersebut masih tercermin hingga kini. Sebuah sikap yang menjadikan warga Masyarakat Kota Tuban menjadi luar biasa bermutu.

 

Warga Masyarakat Kota Tuban adalah Pekerja Keras. Dengan keterbatasan ekonomi, warga Kota Tuban pantang untuk menyerah. Segala cara yang halal ditempuh untuk tetap melanjutkan hidup. Mayoritas warga Kota Tuban bukanlah orang yang mampu dalam standar finansial pada umumnya namun mereka tetap semangat dalam menjalani hidup. Petani yang bekerja di sawah untuk menghidupi anak istrinya sama sekali tak mengeluh meski keadaan ekonomi cenderung membuat mereka hidup serba pas-pasan. Nelayan yang melaut mencari ikan pantang pulang sebelum hasil ada di tangan. Sikap pekerja keras warga masyarakat Kota Tuban merupakan warisan leluhur yang masih tercermin hingga kini.

 

Warga Masyarakat Kota Tuban adalah pejuang pemberani. Kala penjajahan mencengkeram erat bumi pertiwi, warga masyarakat Kota Tuban tak pernah surut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Mereka lebih baik gugur daripada hidup terjajah. Sikap pemberani ini telah terlihat sejak masa kepemimpinan Adipati Ronggolawe di Kerajaan Majapahit. Warga masyarakat Kota Tuban selalu siap berjuang saat diperlukan. Mereka selalu ingat pesan para leluhur mereka yang telah berjuang lebih dulu dalam mempertahankan kemerdekaan. “Selalu siap demi kebenaran” adalah moto warga masyarakat Kota Tuban yang tak pernah tertuliskan namun terpatri dalam tiap sanubari.

 

H. Lamongan

Sifat orang Lamongan mengutamakan kebersamaan, suka berjuang, mempunyai etos kerja yang tinggi, agamis, terbuka, halus, perasaan, jujur, penuh tanggung jawab, dan petualang. Namun kadang kala menjadi kaku dan kasar apabila tidak diikut sertakan dalam musyawarah. Masyarakat pesisir Lamongan selain bekerja sebagai petani ikan, juga suka merantau. Bahasa orang Lamongan adalah bahasa pesisir yang sangat lugas dan intonasinya tinggi dan terdiri dari beberapa dialek seperti dialek Osing, Madura, Jawa ngoko, diwarnai budaya arek atau bocah.

Di kacamatan Paciran yang juga merupakan kecamatan yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Lamongan, masyarakatnya juga telah melakukan budi daya perikanan, yang umumnya diklasifikasikan dalam dua jenis yakni: budidaya air asin dan budi daya air payau, budidaya ini dengan memanfaatkan lahan tambak. Komoditas utama dari budidaya tersebut adalah udang dan bandeng. Di daerah Kranji, kecamatan Paciran juga ada usaha budidaya laut dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA), dimana dengan keberadaan KJA telah memberikan alternatif baru bagi masyarakat pesisir untuk mengembangkan usaha sekaligus untuk membatasi usaha-usaha penangkapan ikan yang berlebihan ( over fishing).

 

Selain itu wilayah pesisir yang lain di kabupaten Lamongan, yaitu di desa Kandangsemangkon ada industri yang berguna bagi kepentingan sektor laut, dimana mata pencahariannya adalah sebagai pembuat perahu yang masih tradisional dan berbahan dasar dari kayu. Hubunga antara patron dan klien juga terlihat pada saat panen atau setelah penangkapan ikan oleh nelayan, dimana para nelayan langsung menjual hasil tangkapannya kepada pengepul, atau ada yang terlebih dahulu menjemurnya kemudian disetorkan kepada pengepul.

 

I. Gresik

Di wilayah pesisir Gresik sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani, namun bukan petani di sawah atau diladang melainkan petani tambak (hasil laut) dan sebagian bermata pencaharian sebagai nelayan. Berbicara tentang pendidikan masyarakat pesisir Gresik tidak jauh berbeda dengan masyarakat di daerah kota Gresik, umumnya para orang tua atau masyarakat lebih mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada pondok pesantren khususnya pada jenjang pendidikan menengah pertama. Sesuai dengan filosofi orang Gresik yaitu “ Ajine wong iku songko ilmune”.

Sifat masyarakat pesisir Gresik terkenal dengan masyarakat yang terkesan lebih terbuka atau dikatakan lebih blak-blakan terhadap orang asing, dan dalam berbicara menggunakan suara yang keras. Suara keras ini di karenakan masyarakat pesisir Gresik mencoba beradaptasi dengan lingkungannya yang bising akibat deburan ombak dan suara angin pantai yang keras.

 

J. Surabaya

Ada sebuah keunikan dari masyarakat pesisir di daerah Surabaya yaitu masyarakatnya bisa dikatakan sebagai masyarakat pesisir yang kosmopolitan, hal ini di sebabkan wilayah pesisir di Surabaya bukan lagi sebuah tempat dimana masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan atau petani ikan, namun sektor laut yang dijadikan sebagai sumber pendapatan adalah dari adanya pelabuhan yang ada di Surabaya. Mereka melakukan perdagangan seperti membuka kedai makanan di area pelabuhan, atau toko kelontong. Namun ada juga orang pesisir di Surabaya yang menjual jasannya menjadi kuli panggul di pelabuhan-pelabuhan tau sebagai pemungut koin dengan berenang ke permukaan lain dan meminta para penumpang kapal melempar koin kepada mereka.

 

Dialek orang Surabaya adalah dialek Suroboyonan yang khas dan teridentifikasi dari gaya bahasa yang diucapkan dengan keras, kasar, ceplas-ceplos atau apa adanya. Selain sifat masyarakat yang kosmopolitan mereka juga sifatnya sangat keras, berfikir bebas dan tidak mau dijajah, cepat mempertahankan diri, setia kawan, gotong-royong, pantang menyerah dan berani. Sesuai dengan filosofi masyarakat Surabaya yaitu : “Suro ing Bhaya” yang artinya berani menghadapi bahaya.

 

Masyaratakat Nelayan

Nelayan dapat diklasifikasikan dan dibedakan dalam tiga macam, yaitu nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan. Nelayan tetap adalah orang yang keseharian hidupnya bermatapencaharian khusus sebagai penangkap ikan di laut dan menetap di daerah-daerah pemusatan nelayan di sepanjang pantai. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya bermatapencaharian sebagai nelayan sedangkan nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk menangkap ikan sedangkan ia memiliki mata pencaharian lainnya yang lebih menyita waktu kerjanya. Nelayan biasa hidup di wilayah pesisir, oleh karenanya nelayan digolongkan sebagai masyarakat pesisir.

 

Menurut Syarif (2008) dalam wilayah pesisir terdapat banyak terdapat kelompok kehidupan masyarakat diantaranya:

 

a) Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat nelayan pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Kelompok ini di bagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Kedua kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapnya.

 

b) Masyarakat nelayan pengumpul atau bakul, adalah kelompok masyarakat pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual kemasyarakat sekitarnya atau dibawa kepasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.

 

c) Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumya mereka bekerja sebagai buruh atau anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.

 

d) Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan masyarakat nelayan buruh.

Kehidupan nelayan di Indonesia secara umum memang masih memprihatinkan, mereka menjadi masyarakat miskin yang terbelakang dalam program pembangunan. Sebagai negara agraris, seharusnya pemerintah dapat lebih memperhatikan kesejahteran mereka dengan memberikan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada nelayan kecil.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hagi Primadasa Juniarta, “Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Probolinggo Jawa Timur”, Jurnal ECSOFiM Vol. 1 No. 1, 2013.

Kusnadi. 2002.“Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan Dan Perebutan Sumber Daya Perikanan”. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Romadi, “Perubahan Masyarakat Petani Menjadi Nelayan (Studi Kasus Di Kecamatan Ayah Kebumen)”. Jurnal Jurusan Sejarah FIS Unnes, Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 2 Desember 2008, hal 153.

Rusli, Karim,1982, Seluk Beluk Perubahan Sosial, Surabaya : PT. Usaha Nasional.

Satria, Arif.2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo.

Tridiana Agustiningsih, 2014, Studi Kasus Pola Interaksi Masyarakat Pesisir Situbondo, Universitas Negeri Malang.

Wiwik Widyo Widjajanti, 2013, “Penataan Permukiman Nelayan di Pantai Mayangan Probolinggo Jawa Timur”, Simposium Nasional RAPI XII - 2013 FT UMS.

Wakit. 2011. “kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Di Pesisir Selatan Kebumen Yang Tercermin Dalam Bahasa Jawa Dan Adat-istiadatnya (kajian Etnolinguistik)”. Jurnal Dalam Haluan Sastra Budaya.

Internet :

Academia, Masyarakat Pesisir, terdapat dalam :

http://www.academia.edu/7562650/TUGAS_INDIVIDU_SOSIOLOGI_PEMBANGUNAN_SOSIOLOGI_MASYARAKAT_PESISIR (Diunduh pada tanggal 11 April 2015 pikul 15.30 WIB).

Azziz Imnas Prasetya, Masyarakat Kebudayaan Cilacap, diakses dari

http://blog.uad.ac.id/aziz1300001150/2015/01/14/masyarakat-kebudayaan-cilacap/, pada tanggal 10 April 2015 pukul 20.00.

Niken, Kepercayaan Masyarakat Yogyakarta Terhadap Mitos Nyai Roro Kidul, Terdapat dalam:

https://niken65.wordpress.com/2014/05/08/kepercayaan-masyarakat-yogyakarta-terhadap-mitos-nyai-roro-kidul/ (Diakses pada tanggal 11 April 2015 Pukul16:25 WIB).

J.Heryanto, Masyarakat dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap, diakses dari

https://jenienvironment.wordpress.com/2010/07/07/masyarakat-dan-kebudayaan-kabupaten-cilacap/, pada tanggal 10 April 2015 pukul 19.30.

Protezholicers, Menentukan Arah Dengan Rasi Bintang, terdapat dalam :

https://protezholicers.wordpress.com/2014/02/05/menentukan-arah-dengan-rasi-bintang (Diunduh pada tanggal 11 april 2015 Pukul 15:56 WIB)

http://pksplipb.or.id/berita-mengenal-kebudayaan-masyarakat-pesisir-utara-jawa-timur-dan-madura-.html

http://zenabidin.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/Kebijakan-013-Prof-Sahris-book-Kebijakan-Pemberdayaan-Kelembagaan-Masy-Pesisir.pdf

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/4089/A12.pdf?sequence=1

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tuban

Koran:

Suara Merdeka, 2006.

Suara Merdeka, 8 juni 2009.


[1]Tridiana Agustiningsih, 2014, Studi Kasus Pola Interaksi Masyarakat Pesisir Situbondo, Universitas Negeri Malang, hlm. 4.

[2]Bagi Primadasa Juniarta, “Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Probolinggo Jawa Timur”, Jurnal ECSOFiM Vol. 1 No. 1, 2013, hlm. 13.

[3]Bagi Primadasa Juniarta, “Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Probolinggo Jawa Timur”, Jurnal ECSOFiM Vol. 1 No. 1, 2013, hlm. 18.

[4] Arif Satria, Pengantar sosiologi Masyarakat Pesisir, (Jakarta: PT Pustaka Cidesindo,2002),Hlm.93.

[5] Academia, Masyarakat Pesisir, terdapat dalam :

http://www.academia.edu/7562650/TUGAS_INDIVIDU_SOSIOLOGI_PEMBANGUNAN_SOSIOLOGI_MASYARAKAT_PESISIR (Diunduh pada tanggal 11 April 2015 pikul 15.30 WIB).

[6] Karim Rusli, Seluk Beluk Perubahan Sosial, (Surabaya : PT. Usaha Nasional, 1982),Hlm.45.

[7] Academia, Opcit.

[8]Wakit, “kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Di Pesisir Selatan Kebumen Yang Tercermin Dalam Bahasa Jawa Dan Adat-istiadatnya (kajian Etnolinguistik)”, (Jurnal Dalam Haluan Sastra Budaya. 2011).

[9] Kusnadi, “Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan Dan Perebutan Sumber Daya Perikanan”, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2002)

[10] Romadi, “Perubahan Masyarakat Petani Menjadi Nelayan (Studi Kasus Di Kecamatan Ayah Kebumen)”,

Jurnal Jurusan Sejarah FIS Unnes,Forum Ilmu Sosial, Vol. 35 No. 2 Desember 2008, hal 153.

[11] Kusnadi, Konflik sosial nelayan: kemiskinan dan perebutan sumber daya perikanan (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2002), hlm.96.

Title : Contoh Makalah Struktur Sosial dan Karakteristik Masyarakat Pesisir Jawa
Description : · Masyarakat Pesisir Utara Jawa Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait d...

0 Response to "Contoh Makalah Struktur Sosial dan Karakteristik Masyarakat Pesisir Jawa"

Facebook

Dilindungi