Resensi Buku Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 Yogyakarta, Tamansiswa, 1989 Penulis : Darsiti Soeratman

Judul Buku : Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939

Judul Asli : Life of Javanese aristocracy in Surakarta from 1830 to 1939

Sub Judul : Edisi

Penulis : Darsiti Soeratman

Penerjemah : -

Penerbit : Taman Siswa Yogyakarta 1989

Hak Cipta : Yayasan Pustaka Indonesia

Tahun Terbit : 1989

Kategori : Sejarah Kebudayaan

Tebal : 231 Halaman

Ukuran Buku :
Buku ini memaparkan kehidupan dunia kraton, dimana kraton merupakan tempat yang unik karena bangunannya yang sangat luas, dan struktur bangunannya yang bersifat khusus. Kraton Surakarta didirikan pada tahun 1746 sebagai pengganti kraton Kartasura yang telah hancur karena serangan musuh, kraton Surakarta didirikan oleh pakubuwana II. Luas karesidenan Surakarta 6217 km2 dan separoh dari daerah itu adalah milik kasununan, sedang daerah lainnya masuk daerah Mangkunegara. 

Menurut catatan yang dibuat pada awal abad XX, luas kota Surakarta 24 km2 dengan ukuran panjang 6 km, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 km dari arah utara ke selatan, kota ini terletak pada ketinggian 200 m diatas permukaan laut. Selama periode tahun 1830-1939, Surakarta diperintah oleh empat orang raja. Pertama, Paku Buwono VII (1823-1858) yang menggantikan kemenakannya, paku Buwana, VI (1823-1830) yang sesudah perang Dipanagara berakhir diasingkan oleh pemerintah kolonial ke pulau Ambon. Kedua, Paku Buwana VIII (1858-1861) yang menggantikan adiknya berlainan ibu. Kedua orang raja ini adalah putra Paku Buwana ke IV, yang disebut pertama lahir dari permaisuri. Ketiga, Paku Buwana ke IX (1861-1893), putra dari Paku Buwana VI, dan keempat, Paku Buwana X (1893-1939), putra dari Paku Buwana IX. Di antara keempat orang raja yang memerintah selama periode lebih dari satu abad (1830-1939) itu, Paku Buwana VIII hanya memerintah selama tiga tahun, Paku Buwana VII dan IX masing-masing sekitar selama tiga puluh tahun, dan Paku Buwana X selama 46 tahun. Sebelumnya raja itu berkedudukkan sebagai putra mahkota selama 24 tahun. Dari pemerintahan ke empat raja tersebut dari pemerintahan Paku Buwana VII sampai Paku Buwana X. Selama periode itu, raja-raja terus menerus harus menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada kolonialisme Belanda. Pertama-tama, mancanegara Barat dan Timur, ditambah nagaraung Bagelen, harus diserahkan. Kemudin diikuti dengan penyerahan pengadilan dan kepolisian, serta pelepasan hak atas tanah yang dihubungkan dengan adanya reorganisasi tanah pada tahun 1917. Namun dimata kawulanya, sunan tetap memiliki kekuasaan yang amat besar, yang sakral-magis, dan dianggap memilki wahyu. Merosot dan lenyapnya kekuasaan politik itu tidak membawa kekuasaan raja dalam konsep kultural ikut pudar. Hal itu nampak pada penyelenggaran upacara gerebeg dan pesta yang makin diperhebat, sehingga upacara berfungsi sebagai lambang kebesaran sunan.


Sebagai suatu identitas sosial, kraton mempunyai kebudayaan tersendiri. Berbagai macam lambang diketemukan dalam berbagai aspek kehidupan, dimulai dari cara mengatur bentuk bangunan, mengatur cara penanaman pohon yang dianggep keramat, mengatur tempat duduk menyimpan dan memelihara pusaka, cara berpakaian, cara berbicara, dan seterusnya.


Ketika perang dipanagara masih berlangsung, pemerintah hindia belanda telah memikirkan tindak lanjut jika perang itu selesai. Berdasarkan persetujuan Sunan dan residen (1854), dibentuk lima Pradata Kabupaten di luar ibu kota, di tempat kedudukan bupati polisi, dengan tugas mengadili urusan sipil. Keputusan pradata ibu kota, yang disebut Pradata gedhe. Dengan alasan tidak mampu menyelenggarakan keamanan, pada 1866 Sastradiningrat III dipensiun. Penggantinya R. Adipati Sasranagara (1866-1887), menjabat kedudukan itu selama 21 tahun. 


Perkembangan masyarakat kraton Surakarta menunjukkan adanya hubungan antara peradaban dan kekuasaan. Ketergantungan Paku Buwana X kepada Pemerintah Hindia Belanda tidak mamungkinkan ia melakukan monopoli kekuatan. Barokisasi kehidupan masyarakat kraton pada masa Pemerintahan Paku Buwana X condong untuk dikatakan sebagai suatu kemegahan yang semu. Kehidupan itu juga dapat dikatakan sebagai suatu pelarian dari kenyataan. 


Dalam buku bu Darsiti Soeratman ini termasuk referensial karena memulai hal-hal yang belum banyak dilakukan oleh para peneliti sejarah di Indonesi. Di rentang waktu yang ditunjukan, rentang waktu bertahtanya Sinuhun PB X, yakni raja terbesar Surakarta. Di tunjukkan dengan apa yang disebutnya sebagai “ barokrasi”, yakni usaha menampilkan diri dengan semarak dihadapan publik, meskipun itu hanya digunakan untuk menutupi merosotnya politik real.

v Kelebihan

· Didalam buku ini sudah menggunakan pendekatan multidimensi, historis, sosiologis dan antropologis.

v Kekurangan.

· Masyarakat kraton memiliki sifat yang setengah terbuka
Title : Resensi Buku Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 Yogyakarta, Tamansiswa, 1989 Penulis : Darsiti Soeratman
Description : Judul Buku : Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 Judul Asli : Life of Javanese aristocracy in Sura...

0 Response to "Resensi Buku Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 Yogyakarta, Tamansiswa, 1989 Penulis : Darsiti Soeratman"

Facebook

Dilindungi