CONTOH MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN Tentang Komersialisme pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

Komersialisasi pendidikan, bisa diartikan dengan memperdagangkan pendidikan. Mencari keuntungan melalui pendidikan. Bahkan, diartikan juga menjadikan pendidikan sebagai komoditas perdagangan, lengkap dengan segala serba-serbi yang ada di dalamnya. Mencari keuntungan melalui pendidikan sebenarnya tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Tapi, kenyataan saat ini komoditas pendidikan mulai diminati banyak orang. Dan tak hanya itu, kini pendidikan tak lebih dari sekilo bawang merah yang menjadi komoditas perdagangan bangsa ini.

Komersialisasi pendidikan sangat berbahaya, bila diartikan sesuai dengan jabaran secara etimologis di atas. Bahkan, sampai hal-hal kecil dalam pendidikan pun akan dikomersialisasi. Tak dapat dipungkiri, masing-masing dari kita saat ini tengah merasakan betapa kejamnya pendidikan yang telah menjadi komoditas perdagangan. Bahkan, ibaratnya tusuk gigi di warung makan pun kini harus membayar. Seperti itu pula lah yang terjadi dalam pendidikan kita. 

Pasca munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan itu. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), keempat perguruan tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan, karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing.

Dari konteks inilah, kemudian, otak para pengelola pendidikan dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreativitas itu adalah menjual beberapa aset, menodong para alumni – terutama para alumni yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dalam menimba ilmu. Hal yang paling menarik untuk dibicarakan bahwa dalam rangka menghasilkan biaya tersebut, pihak rektorat tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan tarif yang tinggi. Sekalipun beberapa rektor menepis anggapan adanya komersialisasi, namun fakta telah menunjukkan banyak kasus. Calon mahasiswa yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas rata-rata, dipastikan diterima menjadi mahasiswa. Dan, mencantumkan sumbangan di bawah perhitungan finansial perguruan tinggi, tak akan bisa masuk kuliah.

BAB II
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

A. Pengertian 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan: Perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.

1. Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak memperdagangkan pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati juga, karena dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.

2. Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang gedung saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasanya dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolahyang menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut dan lebih mementingkan laba. Itu hal yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi jenis kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila. Komersialisasi ini pun telah berdampak pada tingginya biaya pendidikan.

B. Aspek-aspek yang Memunculkan Komersialisasi Pendidikan

1. Aspek Politik

Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-4, hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Apabila pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.

2. Aspek Budaya

Bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded. Budaya berburu gelar ini berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh pejabat-pejabat.

3. Aspek Ekonomi

Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.

4. Aspek Sosial

Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Kartono (1997: 97) yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan masyarakat golongan ekonomi lemah ?

5. Aspek Teknologi

Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut sekolah-sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan menjadikannya sebagai tameng untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar, “Ini dilakukan agar para peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang dari hari ke hari semakin maju. 


Problem yang banyak dibincangkan mengenai komersialisasi pendidikan itu umumnya dimulai dari suatu dugaan bahwa suatu proses pendidikan dilakukan dengan niatan atau tujuan semata-mata mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok orang pemegang modal maupun untuk kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Sehingga dengan keadaan yang demikian, masyarakat dan peserta pendidikan merasa dirugikan karena biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh peserta didik dan orang tua digunakan untuk keperluan lain diluar kepentingan penyelenggaraan pendidikan peserta didik


Kasus semacam itu kerap terjadi karena tidak adanya proses akuntabilitas dan transparansi yang dibangun oleh penyelenggara pendidikan. Sehingga yang ada adalah penyangkaan akan penyelewengan dana dalam bentuk komersialisasi tadi. Padahal, penyangkaan itu bisa salah, walaupun juga kemungkinan betul adanya. Oleh karena itu komersialisasi pendidikan macam demikian mestinya harus ditangani dengan manajemen administrasi yang akuntabel.


Kedua, komersialisasi pendidikan juga dapat terjadi ketika biaya pendidikan jauh lebih tinggi daripada fasilitas dan kelayakan fasilitas maupun sarana pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik. Dalam kasus demikian, suatu satuan pendidikan yang tidak lengkap atau di bawah standar dalam hal fasilitasnya, namun dari sudut pembiayaan jauh melampaui fasilitas yang disediakan satuan pendidikan. Bahkan di beberapa kasus suatu satuan pendidikan yang tidak mempunyai fasilitas apapun, namun pembiayaannya sama atau sebanding dengan satuan pendidikan yang telah standar.


Dalam bentuk semacam ini, yang harus dilakukan adalah peningkatan standar mutu dan fasilitas pembelajaran. Dengan demikian diharapkan dugaan komersialisasi tersebut tidak terjadi. Hendaknya pula, para pengelola pendidikan memperhatikan dan mencermati dengan seksama keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan peserta didik dengan fasilitas yang telah dipenuhi penyelenggara pendidikan.


Ketiga, dapat pula terjadi komersialisasi pendidikan yang mewujud pada penyelenggaraan proses pendidikan yang di bawah standar. Dalam hal ini biasa terjadi dalam suatu kasus ketika ada suatu perguruan tinggi yang membuka kelas jauh atau kelas paralel. Kelas jauh ini biasa diselenggarakan dengan model ala kadarnya, tempat pun sekenanya, bisa di suatu sekolah dasar, rumah penduduk, maupun di ruko-ruko. Belum lagi kelas kuliah model seperti ini dilakukan dengan tatap muka yang juga ala kadarnya. Kalau misalnya satu mata kuliah 2 sks menurut aturan normal harus ditempuh 14 kali tatap muka, dalam kuliah model begini mungkin seorang peserta didik (mahasiswa) hanya menempuh 1-2 kali tatap muka. Wajar, kemudian kalau dihitung-hitung, dengan pembiayaan yang sama dengan kelas regular yang 14 kali tatap muka atau sedikit lebih rendah, maka betapa banyak keuntungan yang diperoleh oleh penyelenggara kelas jauh semacam ini. Kasus yang model demikian harus diawasi oleh pemerintah, ditindak dan ditegur, bila mana perlu diberikan sanksi maksimal sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Masyarakat pun harus waspada dan mengerti, bahwa proses pendidikan awu-awu macam ini harus diberantas karena illegal.


Keempat, ada lagi modus komersialisasi pendidikan yang melakukan aksinya dengan cara jual beli ijazah. Lho kok? Ya, ijazah ternyata dalam praktiknya telah diperjual belikan. Ada oknum-oknum pebisnis ijazah yang suka menjual belikan ijazah. Baik di tingkat dasar, menengah maupun ijazah perguruan tinggi. contohnya, beberapa kasus pejabat public atau tokoh masyarakat yang terkena kasus hukum gara-gara membeli ijazah palsu.
Biasanya, mereka memang spesialis memalsu, yang ini dapat dilakukan tidak hanya oleh orang yang mempunyai akses dalam lembaga pendidikan, namun juga oleh orang yang tidak punya akses dalam lembaga pendidikan, karena memang ia pintar memalsu. Kerap pula terjadi dalam kasus seperti ini dilakukan oleh oknum lembaga pendidikan nakal, yang modusnya seolah-olah peserta didik mengikuti proses pendidikan sewajarnya, padahal hanya akal-akalan.Ujung-ujungnya, mereka ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan perkembangan teknologi bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kehidupan bangsa.


Dibandingkan dengan Vietnam, misalnya, Indonesia sudah tertinggal, apalagi dengan bekas “muridnya,” Malaysia. Untuk alokasi anggaran pendidikan pada tahun 1980, 1,2% dari PDB, turun menjadi 1,0% pada 1990, dan pada 2000 turun lagi menjadi 0,8%. Pada 2003, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi sebesar Rp 13 triliun, hanya sekitar 7% dari APBN atau 0,8% dari PDB. Pada kurun waktu yang sama, negara jiran Malaysia justru menyediakan anggaran yang lebih besar 5,2% dari PDB pada 1980, kemudian meningkat menjadi 5,5% pada 1990, dan 5,8% pada 2000.


Kenyataan pendidikan kita mahal, bukan tanpa alasan, sekalipun berbagai pihak, terutama kalangan rektorat dan Mendiknas terus membangun alasan-alasan yang dirasionalkan. Jika pemerintah tidak pernah merealisasikan pendidikan murah dan berkualitas, jangan salahkan jika slogan kapitalisasi maupun komersialisasi pendidikan menjadi isu yang siap digulirkan kalangan kritikus untuk menyalahkan pemerintah.


Persoalan terkait yang tak kalah peliknya dalam dunia pendidikan, akhir-akhir ini adalah munculnya isu dugaan korupsi di lingkungan Depdiknas. Dalam beberapa hari ini wacana korupsi dalam dunia pendidikan bahkan terus mengemuka di sejumlah media massa. The Jakarta Post, misalnya, tanggal 1 Oktober 2004, memberitakan temuan Indonesia Corruption Watch atas korupsi di sejumlah sekolah, di Jakarta.


Pihak sekolah memungut biaya pendidikan yang mahal dari calon siswa atau siswanya dengan alasan untuk biaya seragam, penggandaan buku yang harus dibeli di sekolah, uang “ini-itu”, dan sebagainya. Bank Dunia (World Bank) juga menduga kuat adanya korupsi senilai 43 juta dolar dalam proyek penggandaan buku. Dalam berita itu dituliskan, pihak Depdiknas berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan (penerbitan) buku dalam mark up penerbitan buku.


Persoalan di atas sebenarnya merupakan masalah klasik namun faktanya terus menjadi beban bangsa ini. Pemerintah mau tak mau harus bersikeras untuk melawan kejahatan-kejahatan, baik komersialisasi maupun tantangan peningkatan kualitas pendidikan kita di masa depan. Sayangnya, dalam membenahi dunia pendidikan pemerintah tampaknya belum menunjukkan komitmennya yang mengarah pada isu konkret, seperti peningkatan mutu dan perbaikan nasib guru.


Bagaimana pun dunia pendidikan harus benar-benar diperhatikan secara serius. Pemerintah tidak bisa serampangan memutuskan kebijakan tanpa menimbang bahaya-bahaya akibat praktik komersialisasi di dunia pendidikan. Sebab, ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat dunia pendidikan adalah kunci dasar pembangunan umat manusia dalam setiap bangsa. Rasanya tak perlu terus-menerus ditegaskan mengapa masyarakat modern harus menjalani kehidupan bermartabat dengan pilar dasar ilmu pengetahuan yang berkualitas. Berbicara mengenai masalah pendidikan, institusi pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi menjadi wacana sentral.


Jika masyarakat ingin memperoleh ilmu pengetahuan yang berkualitas, bermutu dan bisa dijadikan bekal kompetisi dalam berbagai persaingan, maka pengelolaan institusi pendidikan harus menjadi prioritas utama. Selain wajib memberikan biaya dan fasilitas yang menunjang bagi pengembangan mutu pendidikan, pemerintah juga wajib mengarahkan transformasi kemajuan pengelolaan pendidikan secara evaluatif dan konstruktif.

C. Dampak 


Bagi kaum ber-duit tidak masalah. Karena uang yang dikeluarkan bisa bak mengeluarkan secara langsung dari ATM. Tapi, yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua masyarakat Indonesia adalah orang yang kaya. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah masyarakat menengah kebawah. Ini artinya, ketika komersialisasi pendidikan semakin merajalela, kesempatan belajar bagi masyarakat menengah kebawah akan semakin terenggut. Dan ini artinya telah merenggut hak asasi manusia untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan. Biaya pendidikan semakin tak terjangkau. Dan yang muncul di kemudian hari adalah masyarakat miskin hanya dapat menikmati pendidikan yang ecek-ecek atau kurang bermutu. Atau bahkan bisa masuk ke fakultas yang bermutu di universitas yang amat baik pula, tapi kuliahnya harus mogol karena tidak kuat membeli buku, perlengkapan kuliah, dan kebutuhan-kebutuhan sekunder kuliahnya. Perlu diketahui juga, harga buku yang diperlukan di semester 2 di Fakultas Kedokteran Gigi saja sudah habis sekitar Rp 1,2 juta. Seandainya harga terus naik, dan kebutuhan semakin meningkat, maka niscaya bahwa di masa depan akan semakin jarang orang-orang dari kalangan menengah kebawah bisa menduduki fakultas-fakultas favorit di perguruan tinggi yang baik.


Dampak lain yang dapat timbul yaitu : Rakyat kalangan bawah yang menginginkan pendidikan, tak mampu untuk merealisasikan keinginannya dikarenakan biaya pendidikan yang mahal, Memperkaya pihak-pihak tertentu, Biaya yang dibayar oleh wali murid/wali mahasiswa/i tidak sebanding dengan sarana prasarana yang diterima, Biaya yang dibayar tidak sebanding dengan kualitas lulusan suatu lembaga pendidikan formal – informal dan Menimbulkann kesenjangan sosial, kelompok orang kaya dengan orang miskin.


D. Solusi Alternatif 


Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Perlu diketahui banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan membuka yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “mendapatkan keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.


Prinsip nirlaba mestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan bahwa kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dewasa ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan diIndonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yangdapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas utama yangdapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi


Berikut solusi alternatif penanggulangan komersialisasi pendidikan :


1. Pembentukan lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan untuk mengawasi jalannya sistem pendidikan. Alasan mengapa lembaga ini harus bersifat non pemerintah adalah agar dalam pelaksanaannya, lembaga ini tidak terpengaruh dan tidak tertekan oleh pihak manapun. Lembaga ini nantinya diharapkan mampu bersikap mandiri dan independen, sehingga ketika terjadi penyimpangan, mereka berani melaporkan apa yang sebenarnya terjadi tanpa takut akan ancaman apapun dan dari siapapun. Lembaga ini berhak melakukan evaluasi terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang pendidikan, seperti dana BOS dan sekolah dengan status RSBI, agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun bersifat nonpemerintah, dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini tetap harus berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan untuk mencapai tujuan mulia bersama.


2. Pemberian beasiswa yang lebih gencar kepada para pelajar yangberprestasi dan tidak mampu dalam hal biaya. Upaya ini sebagai antisipasi agar para pelajar yang berprestasi dan tidak mampu dapat terus melanjutkan pendidikan tanpa harus terbebani biaya dan termotivasi untuk belajar lebih baik. Pencanangan program “Wajib Belajar 12 Tahun”. Pada program ini, nantinya SMA/sederajat memperoleh aliran dana BOS, sehingga biaya pendidikan dapat ditanggung oleh pemerintah dan tidak begitu memberatkan bagi orangtua/wali murid. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi komersialisasi dan komoditasi pendidikan di jenjang SMA, dan biaya tinggi tak lagi menjadi alasan bagi mereka yang tidak mampu untuk berhenti belajar disekolah.


3. Pemeriksaan rutin transaksi keuangan di seluruh lembaga pendidikan (tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi), baik negeri maupun swasta, oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah. Dari lembaga pemerintah dapat diwakilkan oleh Badan PemeriksaKeuangan (BPK), sedangkan dari lembaga non pemerintah dapat diwakilkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli dengan dunia pendidikan.


4. Penarikan uang untuk biaya sekolah seharusnya disampaikan dengan jelas dan terinci. Biasanya modus penarikan untuk pendidikan yang bermacam- macam. Diantaranya pembayaran ekstrakulikuler, dana untuk keselamatan, dana untuk membeli gorden kelas, biaya wisuda, sertabiaya untuk membeli LKS dan seragam.


5. Penggunaan dana BOS dengan sasaran yang tepat. Adanya dana BOS dari Dinas Pendidikan seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya untuk menunjang sarana prasarana lembaga pendidikan. Tak hanya biaya sekolah yang mahal tetapi fasilitas yang didapat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Biaya yang besar dikeluarkan juga mempengaruhi kualitas dari peserta didik. Semakin mahal sekolah maka semakin baik kualitas pendidikan ditempat tersebut. Apakah hal ini dapat dibenarkan, tentu saja tidak. Hal ini tidak menjamin.

BAB III
PENUTUP

Negara membutuhkan kekritisan kita dan keberanian kita. Komersialisasi berlangsung dengan pilihan. Seandainya kita bisa memilih jalan tanpa komersialisasi, ini tentu akan baik. sebaiknya menjadi kaum yang sedikit tidak mudah percaya dan menjadi kaum yang oportunistis. Tinggal keberanian kita untuk memilih.Yang jelas, komersialisasi ini secara perlahan akan membawa kehancuran bangsa. Komersialisasi hanya akan membuat orang yang sudah kaya akan semakin berjaya, dan yang miskin akan mati perlahan. Jangan jadikan pendidikan bagus hanya dapat dinikmati oleh orang kaya saja.


Dunia pendidikan harus benar-benar diperhatikan secara serius. Pemerintah tidak bisa serampangan memutuskan kebijakan tanpa menimbang bahaya-bahaya akibat praktik komersialisasi di dunia pendidikan. Sebab, ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat dunia pendidikan adalah kunci dasar pembangunan umat manusia dalam setiap bangsa. 

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, Mohammad Afif, 2014, Ada Apa dengan Komersialisasi Pendidikan, http://afifunisda.blogspot.com/2008/11/ada-apa-dengan-komersialisasi.html diakses tanggal 28 Juni 2014


Anonim, 2014, Komersialisasi Pendidikan, http://bukamata-bukahati.blogspot.com/2011/03/komersialisasi-pendidikan.html diakses tanggal 28 Juni 2014


Anonim, 2014, Komersialisasi Pendidikan, http://bem.polsri.ac.id/apa-itu-komersialisasi-pendidikan/ diakses tanggal 28 Juni 2014


Aryani, Siti Nur, 2014, Komersialisasi Pendidikan, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=109046 diakses tanggal 28 Juni 2014


Title : CONTOH MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN Tentang Komersialisme pendidikan
Description : BAB I PENDAHULUAN Komersialisasi pendidikan, bisa diartikan dengan memperdagangkan pendidikan. Mencari keuntungan melalui pendidikan....

0 Response to "CONTOH MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN Tentang Komersialisme pendidikan"

Facebook

Dilindungi