Contoh Makalah Sejarah tentang Pemberontakan Petani Banten 1888

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makalah ini berisi pembahasan mengenai buku yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888. Merupakan terjemahan dari disertasi buah karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan judul asli The Peasant’s Revolt of Banten in 1888. Kehadirannya telah memberikan secercah perubahan dalam kancah intelektual. Karya yang memperoleh predikat cum laude dari Universitas Amsterdam ini menjadi referensi utama dalam penulisan sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia. Maka sangat menarik untuk memberikan penilaian pada karya luar biasa ini.

Selain itu keunikan yang disajikan oleh penulisnya juga dari sudut pandangnya. Dimana ia meletakkan kaum petani sebagai subyek utama pembahasannya. Sesuatu yang tidak lazim dituliskan oleh para sejarawan di masa itu. Karena biasanya yang menjadi subyek utama penulisan sejarah adalah orang-orang besar. Hal itu semakin menarik perhatian kami untuk mengulas tentang buku ini.

B. Rumusan Masalah

- Bagaimana peristiwa yang terjadi di Banten pada saat pemberontakan tahun 1888 ?

- Apa faktor yang berperan ketika peristiwa berlangsung ?

- Apa yang melatarbelakangi timbulnya peristiwa-peristiwa tersebut ?

- Bagaimana dampak dari timbulnya peristiwa-peristiwa tersebut ?

- Apa kelebihan dan kekurangan dari buku tersebut ?

C. Tujuan

- Mengetahui peristiwa yang terjadi di Banten pada saat pemberontakan tahun 1888.

- Mengetahui faktor yang berperan ketika peristiwa berlangsung, keadaan apa yang mengkondisi timbulnya peristiwa-peristiwa tersebut, akibat dari keputusan-keputusan, dan reaksi atas keputusan.

- Menganalisis kelebihan dan kekurangan buku.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Identitas Buku

Judul buku : Pemberontakan Petani Banten 1888

Judul asli : The Peasant’s Revolt of Banten in 1888

Penulis buku : Prof. Dr Sartono Kartodirdjo

Penerjemah : Hasan Basari

Jumlah halaman : 510 halaman 

Ukuran : 21 x 14 cm 

Penerb : PT Dunia Pustaka Jaya

Tahun terbit : 1984 (cetakan pertama)

B. Ringkasan
Bab I: Pengantar

Pemberontakan-pemberontakan petani dapat dipandang sebagai bentuk protes terhadap masuknya perekonomian Barat dan terhadap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan tradisonal. Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, menimbulkan adanya buruh upah dan dari itu terjadilah keruntuhan struktur ekonomi dan politik yang tradisional. Sedangkan di daerah-daerah, agama sebagai pemegang peranan yang dominan mulai membuat gerakan-gerakan rakyat dengan jalan membungkus pesan milenari mereka itu dengan menggunakan istilah keagamaan. Oleh karenanya dianggap sebagai gerakan keagamaan dan gerakan militer. 

Pemberontakan petani di Banten tahun 1888 merupakan pemberontakan yang besar, yang menjadi pergolakan sosial yang menonjol di Jawa abab XIX. Pemimpin-pemimpinnya merupakan satu golongan elite, yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan dan visi sejarah yang sudah turun-temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi. Sedangkan anggota gerakan itu terdiri dari petani. Disini guru agama atau pemimpin mistik memainkan peranan utama dalam hamper semua pemberontakan besar. 

Orientasi Historis

Tidaklah benar bahwa kaum petani tidak memainkan peranan apa-apa dalam sejarah Indonesia, bahwa mereka bersikap masa bodoh, selalu penurut, pasrah terhadap nasib. Selama abad-abad XIX dan XX Nampak tanda-tanda yang jelas tentang adanya pergolakan petani dan revolusionisme agraris yang aktif. 

Bab II: Latar Belakang Sosio-Ekonomis

Daerah Peristiwa dan Faktor-Faktor ekologis yang Relevan

Banten memiliki luas 114 mil persegi, dan pada tahun 1892 berjumlah 568.935 jiwa. Daerah ini dibagi menjadi dua yaitui di bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan yang jarang penduduknya, dan yang satunya ada di bagian utara tanahnya sudah digarap dan penduduknya jauh lebih padat. Golongan etnik terbesar di Banten adalah Sunda yang kebanyakan tinggal di Banten Selatan. Sementara di utara didiami orang Jawa, di selatan orang Baduy. 

Struktur Sosial dan Ekonomi Agraria

Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan sumber kekayaan dan produksi yang utama, dan karena itu pemiliknya memiliki prestise yang tinggi, sehingga klasifikasi penduduk desa yang tradisional didasarkan atas pemilikan tanah. Hak dan kewajiban ditentukan atas dasar yang sama. Pemukulrataan ini berlaku di sebagian besar Pulau Jawa abad XIX. Di samping pemilikan tanah, terdapat berbagai factor ekologis dan historis yang ikut berperan, sehingga keadaannya tidak sampai berkembang menjadi cara-cara penggunaan tanah dan organisasi sosial yang kaku dank has Jawa sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat pedesaan yang pada dasarnya bersifat statis di daerah-daerah pesawahan dataran rendah.

Di Banten, perekonomian yang utama yaitu agraris, penduduk desa secara pukul rata adalah petani dan penanam padi, entah sebagai pemilik maupun sebagai penggarap sawah bagi hasil. Namun ada juga penduduk desa yang mencari nafkah sebagai pedagang, nelayan atau tukang, atau sebagai pengusaha industri. Meskipun ada tenaga kerja yang merantau, namun pada umumnya dikatakan bahwa di daerah itu tidak ada tanda-tanda kelebihan penduduk. Selain itu, dengan mengingat perimbangan sumber daya utama perekonomian desa, tidak ada alasan untuk menduga bahwa disana terdapat kesulitan-kesulitan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir sebelum pemberontakan. 

Seperti di banyak masyarakat agraris, yang mempunyai arti penting yang khas di antara kondisi yang menentukan kehidupan dan perburuhan di daerah-daerah pedesaan, yakni yang menyangkut pemilikan tanah dan penyewaan tanah di satu pihak dan teknik-teknik bertani di lain pihak. Oleh karena pada tingkat terakhir factor-faktor itu menentukan siapa yang akan melakukan pekerjaan yang diperlukan dan berapa besarnya bagian yang akan mereka peroleh dari hasilnya. 

Sistem hak atas tanah di Banten abad XIX berasal dari zaman kesultanan, meskipun telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat masuknya administrasi kolonial. Pada bagian akhir tahun enam puluhan , masalah yang menyangkut kepemilikan tanah dan sewa tanah bersumber pada hadiah-hadiah tanah yang diberikan kepada lembaga-lembaga keagamaan, yang tanah-tanah miliknya terutama terletak di daerah inti kesultanan yang lama. Kolonialisasi yang dipimpin oleh penakluk-penakluk muslim dari Demak dan Cirebonn itu menggunakan teknik bertani yang baru secara besar-besaran, yakni cara menanam padi di sawa. Sawah yang dinamai dengan sawah Negara merupakan sawah yang palin tua. Petani yang menggarap sawah Negara atau sawah sultan itu terbagi menjadi dua yaitu petani mardika, yakni orang yang menyatakan tunduk kepada kaum penakluk dan memeluk agama Islam, dan yang satu kaum abdi yang telah ditaklukan dengan kekerasan dan dijadikan budak. 

Lembaga sawah Negara, yang berasal dari awal periode kesultanan dan masih hidup dalam pertengahan abad XIX, mengacu tidak hanya pada kondisi pemilikan tanah, akan tetapi juga kepada arti penting pemilikan tanah di bidang sosial dan politik. Sawah Negara sesungguhnya adalah semua sawah yang telah dibuka atas perintah sultan atau anggota keluarga yang telah dihadiahi tanah itu sehingga tanah tersebut menjadi miliknya. Sawah Negara ini pada umumnya dianggap sebagai tanah kesultananakan tetapi bagi sultan memiliki tanah saja tidak cukup. Sawah Negara yang meliputi daerah-daerah dataran rendah sekitar teluk Banten dibagikan kepada petani dengan syarat bahwa mereka menggarapnya dan membayar upeti kepada sultan sebesar sepersepuluh dari hasilnya. Dalam kenyataannya untuk menggunakan tanah dari sultan itu dikaitkan dengan kutipan pajak atas hasil panen dan kewajiban melakukan kerja bakti untuk sultan. Karena itu fungsi sultan untuk memberikan perlindungan mengakibatkan ia menguasai perekonomian. 

Sudah menjadi kebiasaan lama yang dapat dijumpai dinegara-negara birikratis dan agraris bahwa pembagian tanah diantara pengiring –pengiring pribadi sang raja, pejabat-pejabat dirumah tangganya, anggota-anggota kerabatnya. Tanah yang dianugerahkan namanya sawah ganjaran atau pussaka laden atau paceton, dan istilah yang dipakai berbeda sesuai dengan orang yang menerima hadiah. 

Satu kenyataan bahwa pemungutan pajak merupakan salah satu hal yang utama oleh birokrasi sultan. Khususnya pajak atas tanah dan tenaga kerja menjadi sumber pendapatan Kesultanan yang utama. 

Tahun 1808 ada kebijakan Daendels dan beberapa tahun setelah itu kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satuny pajak. Ketentuan tersebut membuka kesempatan bagi perbuatan sewenang-wenang yang serius. Dalam perjalanan waktu, hak-hak yang turun-temurun atas sawah Negara, baik sebagai pusaka maupun sebagai pecaton, dan atas sawah yasa, menjadi sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja. Orang-orang yang telah dianugerahi tanah oleh sultan,dg gigih menentang diberlakukannya ketentuan tersebut, oleh karena itu juga akan menyebabkan mereka kehilangan banyak pengaruh politik. Sebab itu, ketentuan tersebut telah menimbulkan banyak rasa tidak puas dan hal itulah yang dianggap sebagai sumber kerusuhan di Banten sampai tahuin 1830. Sejak semula, pemerintah telah dihalang-halangi untuk memperoleh informasi yang sebenarnya mengenai keadaan tanah kesultanan, sehingga orang-orang yang dianugerahi tanah-tanah itu dapat terus mengutup upeti-upeti tradisional. Dengan demikian, rakyatlah yang mendapat kesan bahwa pengutipan berganda itu telah mendapat restu pemerintah, akibatnya timbul satu situasi dimana segala kesalahan dilimpahkan kepada pemerintah. 

Konflik Mengenai Hak Tanah

Satu kasus yang menarik yaitu hak milik atas sawah Negara atau tanah yasa yang dituntut oleh anggota-anggota kerabat sultan. Pembagian sawah Negara di Kadikaran menyingkapkan secara lebih menyolok penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh kaum elite. Satu contoh penyelewengan lainnya yang menarik adalah pengadaian sawah. Cara-cara transaksi tanah lainnya yang ketika itu sudah terdapat di Banten adalah menjadikan tanah sebagai jaminan, dan persetujuan bagi hasil yang masing-masing disebut nglanjak dan memaro atau mertelu. 

Wajib Kerja Bakti 

Pengutipan tenaga kerja ,seperti halnya pemilikan tanah berasal dari zaman kesultanan. Ada dua macam pajak pokok yaitu pajak berupa hasil tanaman dan pajak berupa tenaga kerja dan kewajiban untuk membayar pajak dalam bentuk kerja itu dikenakan terhadap orang-orang dari berbagai status. Dalam hubungannya dengan berbagai kerjabakti yang diwajibkan di Banten itu adalah sangat penting untuk membedakan antara daerah sawah Negara atauy tanah-tanah kesultanan dan daerah lainnya. 

Pembaruan-pembaruan Pemerintah 

Kebijaksanaan sosio-ekonomis yang dijalankan oleh pihak Belanda, merupakan salah satu factor utama yang menyebabkan pembaruan itu lambat sekali terlaksana. Pembaruan-pembaruan tersebut dapat dipandang sebagai usaha untuk mempertahankan tatanan sosio-ekonimi yang tradisional. Ketentuan membayar pajak dengan uang harus dilaksanakan dalam kerangka perekonomian rumah tangga yang agraris. Akibatnya ketidakteraturan perubahan tersebut membatasi pelaksanaan pembaruan-pembaruan yang hendak diadakan. Kondisi sosio-ekonomis di Banten abad XIX merupakan satu contoh yang menyolok mengenai tidak memadainya perundang-undangan modern sebagai sarana untuk meniadakan keburukan-keburukan sosial, apabila perekonomian daerah yang bersangkutan yang pada dasarnya masih agraris tetap mengikuti pola tradisional. 

Mengenai berbagai kerja bakti wajib itu, banyaknya peraturan yang telah diberlakukan dalam abad XIX memberikan petunjuk yang jelas tentang adanya praktek-praktek sewenang-wenang yang buruk berkaitan dengan berbagai beban yang dikenakan kepada kaum tani oleh pamongpraja, yang telah ditugaskan untuk mengerahkan orang-orang untuk melakukan kerja paksa dan untuk memungut pajak. 

Sistem Status 

Masyarakat Banten sama halnya dengan masyarakat tradisional pada umumnya yang mengenal stratifikasi kelas bi-modal. Mayoritas rakyat yang sangat besar, atau rakyat biasa yang mencakup petani, tukang, pedagang dan buruh disebut jalma leutik. Sedangkan suatu kelas atasan yang sedikit jumlah anggotanya yang terdiri dari elite birokrasi dan bangsawan disebut priyayi. 

Pemerintah kolonial mendasarkan mekanisme administrasinya pada modal Barat dan mengubah sebagian dari personil sultan atau anggota-anggota keluarganya menjadi birokrat. Seperti daerah lain di Pulau Jawa, elite birokrasi yang sedang berkembang merupakan satu golongan status fungsional tersendiri. Anggotanya diambil dari berbagai lapisan masyarakat. Pada awal periode setelah Kesultanan Banten dihapuskan, orang dari rakyat biasa yang disenangi kemudian diangkat untuk mengisi jabatan dalam birokrasi dengan restu dari kolonial. 

Elite Pedesaan

Yang dimaksud sebagai elite pedesaan disini yaitu orang yang mempunyai peranan sosial dan mempunyai arti penting dalam lingkungan desa yakni para pemuka agama yang memainkan peran esensial dalam gerakan sosial. Dalam menentukan kepala desa, penduduk desa lebih memilihorang yang tidak berpengetahuan atau yang penurut daripada orang yang berkemauan kepada orang lain. Setiap dukungan yang diberikan oleh pemuka agama dalam satu kampanye pemilihan merupakan jaminan bahwa kepentingan penduduk desa akan dilindungi dalam soal penetapan pajak atau kerja wajib. Disini hierarki sosial terendah yaitu golongan orang yang tidak memiliki kondisi sosio-ekonomis seperti yang disebutkan diatas kegiatan konvensional yang dipandang anti sosial dan jahat, seperti perampok. 

Rasa Tidak Puas yang Dirangsang oleh Pembaharuan 

Dalam rangka penghapusan kewajiban berbagai kerja bakti secara berangsur-angsur, sebuah peraturan baru dikeluarkan tahun 1882 yang menghapuskan semua kerja bakti untuk para pejabat dan menggaantikannya dengan pajak kepala. Yang wajib untuk membayar pajak yaitu orang yang diharuskan melakukan kerja bakti. Sedangkan elite pedesaan berada dalam kedudukan yang kuat untuk membayar pajak yang relative kecil, karena mereka dapat melakukan tekanan terhadap pejabat desa untuk mengurangi bagian pajak yang harus dibayar. Akibatnya rakyat yang harus memikul beban yang lebih berat. Hal lain yang membuat yang memicu kejengkelan yang menumpuk yaitu dinaikkannya pajak perdagangan. 

Kesulitan Ekonomi yang Disebabkan oleh Bencana-Bencana Fisik

Kondisi sosio-ekonomis telah banyak menimbulkan tekanan-tekanan dan tuntutan yang tak terduga sebelumnya, dan karenanya menjadi sumber frustasi yang kumulatif. Seluruh daerah tersebut menderita akibat bencana-bencana fisik yang silih berganti melanda dalam tahun-tahun sebelum pemberontakan. Tahun berikutnya muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Selain itu juga mengalami kelaparan yang melanda selama satu musim, hal itu juga dikarenakan letusan Gunung Krakatau yang luar biasa. 

Bab III: Perkembangan Politik 

Dalam masyarakat Banten,lembaga-lembaga politik tidak semata-mata mengacu kepada “Negara” atau “pemerintahan”, melainkan cenderung untuk diasosiasikan dengan satuan-satuan social lainnya, seperti keluarga, golongan keturunan dan komunitas keagamaan. 

Struktur Politik Tradisional dan Keruntuhannya

Di dalam struktur Negara tradisional kekuasaan sultanlah yang mempunyai prerogatif, baik dalam urusan politik maupun dalam urusan agama. Seperti halnya di negara –negara tradisional lainnya di Pulau Jawa,kekuasaan administraif dilimpahkan kepada anggota-angota lapisan atas birokrasi. Yang mengepalai birokrasi pusat adalah patih, sedangkan fungsi pengadilan keagamaan dipegang oleh Fakih Najamudin. 

Meskipun pemilikan tanah mempunyai arti penting, pengawasan atasnya tidak merupakan satu-satunya landasan material kekuasaan politik para penguasa di Banten. Transaksi-transaksi komersial selalu beradadi bawah pengawasan dan dikenakan pajak oleh pejabat-pejabat sultan. 

Mengenai perjuangan politik di negara tradisional, maka disamping para pangeran keturunan raja, saingan-saingan potensial raja adalah kaum elite birokrasi agama. 

Banten yang pernah merupakan sebuah negara yang sangat kuat dan makmur dengan kota pelabuhan yang palng besar di Indonesia mengalami kemunduran yang cepat masa pemerintahan sultan-sultan terakhir penuh dengan perselisihan-perselisihan dan intrik-intrik sehingga anarki dan bencana-bencana merajalela. Meski daerah sekitar Keraton Sultan relative tentram, daerah yang letaknya lebih jauh diteror oleh penyamun, perampok dan orang buangan. 

Setelah aneksasi Kesultanan Banten oleh Daendles tahun 1808, Sultan dan alat-alat politiknya di pertahankan, tetapi dibawah pengawasan ketat pemerintah Belanda. Banten dinyatakan sebagai daerah Kekuasaan yang luas wilayahnya, sangat diperkecil. 

Peranan Politik Kaum Bangsawan

Pemukulrataan yang berlebihan mengenai kaum bangsawan Banten yang militant, dan bersifat pemberontak kenyataannya hanya beberapa orang saja yang berpengaruh dan penuh semangat. Mereka dengan lihai memanfaatkan status tinggi dan prestise mereka untuk memegang pimpinan. Mereka berhasil mempengaruhi kelas berkuasa yang baru dengan menjalin satu jaringan kepentingan dan kesetiaan yang banyak liku-liku di kalangan mereka. 

Setelah kesultanan dihapuskan sekalipun kaum bangsawan merupakan komponen yang paling menarik dari prestise dan kesempatan. Akan tetapi kejadian tersebut telah menyebabkan kehilangan kepala keturunan aristokrasi yang sangat berpengaruh, yang secara berkesinambung dapat memberikan anggota baru kepada kaum bangsawan. Upaya yang ada yaitu dengan memperluas pemilikan tanah, mengikat tali perkawinan dengan kelas berkuasa yang baru. 

Peranan Putri Ratu Siti Aminah

Ratu Siti Aminah merupakan seorang wanita lanjut usia yang boleh dikatakan giat dan bersemangat. Pengaruhnya yang besar dirasakan tidak hanya oleh orang-orang keturunan sultan, melainkan juga oleh kalangan elite agama di Kasunyatan, Banten dan Kanari yang merupakan pusat-pusat keagamaan di Keresidenan Banten. 

Peristiwa Sabidin

Peristiwa Sabidin terjadi beberapa tahun sebelum meletusnya pemberontakan. Ia salah satu contoh usaha pihak aristokrasi Banten lama yang tiada hentinya menghasut rakyat dan menghidupkan kembali kenangan mereka mengenai masa keemasan kesultanan. Peristiwa itu telah menyingkap peranan politik yang dapat dimainkan oleh keluarga sultan dan cara-cara yang mereka gunakan. Para penggerak utama peristiwa Sabidin adalah pensiunan Patih Lebak, Jayakusuma dan patih pada waktu itu Tubagus Jayapraja. 


Kenyataan bahwa peristiwa Sabidin merupakan gejala yang mencerminkan masyarakat Banten dalam peralihan. Selain artinya sebagai gerakan untuk memulihkan kedudukan sultan, peristiwa itu menunjukkan dengan jelas bahwa golongan-golongan yang berdasarkan garis keturunan dan terdiri dari anggota-anggota keluarga besar memainkan peranan penting dalam pencaturan politik di Banten.

Kebijaksanaan Mengenai Penerimaan Pegawai Pemerintah

Struktur hirarki yang sudah ada dalam masyarakat Banten telah memudahkan pembentukan sistem birokrasi kolonial, sehingga di dalam hal ini tidak diperkirakan akan terjadi perubahan-perubahan radikal dalam struktur kekuasaan. Kenyataan bahwa ikatan-ikatan kewajiban dan ketergantungan politik untuk sebagian mengikuti garis-garis hubungan kekerabatan, tidak boleh tidak mempengaruhi rencana kebijaksanaan kolonial. 

Struktur Birokrasi Kolonial dan Konflik Kelembagaan

Transformasi dari pola kekuasaan yang tradisional ke pola kekuasaan yang rasional-legal dilaksanakan selangkah demi selangkah. Dalam kenyataannya, berlaku secara esensial yang masing-masing diwakili oleh residen dan oleh bupati melahirkan satu sistem yang ambivalen dalam administrasi. 

Dari segi pengangkatan dan penggantian pejabat-pejabat birokrasi Banten tidak dapat diidentifikasi sebagai birokrasi yang benar-benar rasional-legal, dimana persyaratan-persyaratan teknis merupakan dasar utama untuk menyaring pejabat. Yang terjadi adalah sebaliknya, factor-faktor diluar birokrasi seperti derajat keluarga orang yang bersangkutan, yakni apakah orang itu punya hubungan keluarga dengan kaum bangsawan Banten atau tidak, dan apakah ia merupakan anggota keluarga lapisan atas atau tidak, pada umumnya menentukan pengangkatan dan kenaikan pangkatnya. 

Peranan Politik Elite Agama

Elite agama terlibat dengan cara yang berbeda dalam konflik kelembagaan itu. Kaum Elite agama cenderung untuk menolaknya. Kekuasaan politik para kyai dan atau haji sebagai guru tarekat atau guru ngaji dibuktikan dengan jelas oleh kasus tarekat Kadiriah dan pesantren-pesantren yang banyak sekali terdapat di Banten Utara selama tahun-tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan. Masalah persekutuan-persekutuan politik di Banten abad XIX adalah hubungan antara kaum elite agama dan kaum bangsawan Banten. 

Hubungan Antara Pejabat-Pejabat Banten dan Eropa 

Pernyataan pemerintahan Belanda mengenai status Banten sebagai wilayah kekuasaannya adalah pembentukan kerangka praktek-praktek legal dan administrasi modern sebagai wilayah kekuasaannya adalah pembentukan kerangka praktek-praktek legal dan administrative modern sebagai unsur-unsur birokrasi kolonial. Maka berkembanglah perangkat kepamongrajaan yang baru: satu jaringan administrator-administrator Belanda dengan cepat dibangun dan kekuasaan politik didistribusikan diantara mereka; mereka ditugaskan untuk mengawasi kegiatan para bupati dan bawahan mereka. Penetrasi personil asing dari birokrasi kolonial ke dalam struktur administrasi tingkat daerah itu menyebabkan terjadinya pergeseran focus kekuasaan dan tanggung jawab dari kekuasaan sah para bupati berdasarkan tradisi kepada kekuasaan pemerintahan Belanda. Satu konsekuensi yang langsung adalah merosotnya kedudukan para bupati yang sekarang hanya merupakan agen-agen majikan mereka, orang Belanda. 

Kebanyakan pejabat Belanda di bagian akhir tahun-tahun delapan puluhan dianggap tidak cocok untuk bertugas di Banten. Meskipun sebagian diantara mereka memiliki kualifikasi yang baik, mereka gagal menyelenggarakan satu administrasi yang baik. Secara sambil lalu perlu dikemukakan bahwa Banten sejak dulu mereka sebuah kualifikasi yang baik. Secara sambil lalu perlu dikemukakan bahwa Banten sejak dulu merupakan sebuah keresidenan yang sulit diperintah dan penguasaan di sana pada umumnya dianggap sebagai semacam hukuman. 

Situasi Politik dalam tahun-tahun 1870-an dan 1880-an

Bukti tidak diragukan lagi tentang ketidakstabilan politik yang terus menerus di Banten adalah banyaknya perbentengan-perbentengan yang tersebar di daerah Serang, Anyer, Caringin, Cimanuk, Rangkasbitung, Padeglang dan Tanara. Di sana ditempatkan satuan-satuan militer yang berkekuatan sekitar dua puluh lima orang. 

Adanya perbentengan-perbentengan itu merupakan peringatan yang tetap bahwa pemerintahan kolonial setiap saat siap untuk menggunakan kekerasan guna menindas pemberontakan rakyat. Sebenarnya, di kalangan pemerintahan terdapat kecurigaan yang besar mengenai kegiatan pemimpin-pemimpin agama. 

Di dalam masyarakat Banten, kaum elite yang berkuasa tidak terdiri dari satu golongan yang sepenuhnya merasa terkait kepada universalisme kepamongprajaan dan satu golongan lainnya yang sepenuhnya merasa terikat kepada partikularisme kekerabatan; mereka terdiri dari perorangan-perorangan yang berusaha mengikuti kedua pola. 

Bab. IV Keresahan Sosial

Pergolakan-pergolakan sosial yang disertai ambruknya nilai-nilai tradisional ditandai oleh ketidakpuasan, suasana panas dan gelisah di kalangan penduduk. Sedemikian sarat pemberontakan dengan ketegangan dan konflik sosial, yang mudah meletus menjadi pemberontakan. Keresahan yang sudah meluas di kalangan rakyat itu mengungkap dirinya sebagai ledakan-ledakan yang silih berganti, bukan hanya berupa kerusuhan-kerusuhan tetapi juga berupa komplotan-komplotan dan kejahatan-kejahatan sosial. 

Sepanjang abad XIX Banten merupakan gelenggang pemberontakan sehingga cukup alasan untuk memakannya sebagai tempat persemaian kerusuhan yang sudah terkenal. Pemberontakan di Banten abad XIX bukan merupakan gejala yang spradik, melainkan ciri umum, endemic dan simptomatik dari masyarakat. 

Faktor yang menyebabkan terjadinya pergolakan adalah kompleks dan beraneka ragam. Faktor-faktor seperti disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang menyertainya, yakni semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religious terhadap penguasa-penguasa asing sangat menonjol dalam banyak pemberontakan di Banten abad XIX. Keadaan tidak menentu timbul setelah ambruknya kesultanan, dan anarki umum yang berlangsung kemudian, sedikit banyaknya membantu munculnya unsur-unsur pembangkang yang berulang kali melakukan kerusuhan-kerusan, keadaan rusuh itu berlangsung terus. Banten mengalami anarki yang hukum yang meluas, sementara kerusuhan timbul hamper tiap tiga tahun sekali. 

Perlawanan yang sengit terhadap pemungutan pajak berkembang menjadi pemberontakan-pemberontakan. Kegusaran penduduk terhadap perpajakan menjadi bertambah sebagai akibat langkanya uang dan rendahnya harga hasil pertanian. Seringnya terjadi kerusuhan sosial merupakan konsekuensi langsung dari penetrasi perekonomian uang ke dalam masyarakat Banten. 

Kepemimpinan Revolusioner

Tidak lama setelah kesultanan dihapuskan, keadaan menjadi sangat kacau dan seluruh tatanan sosial kelihatannya sudah hamper ambruk, dari situ muncullah pemimpin untuk memimpin dalam suatu usaha melawan kekuatan yang dominan. Sedangkan yang menyusun barisan kaum pembangkang untuk bangkit memberontak adalah orang-orang yang dipandang hina dan berada diluar unsur-unsur yang teratur dari situasi politik yang baru. 

Usaha yang terus menerus dilakukan oleh kaum elite revolusioner untuk membakar semangat telah menjadikan Banten satu daerah yang bergolak selama beberapa dasawarsa. Elite revolusioner berasal dari pelbagai lapisan sosial dan diantara gerakan-gerakan yang muncul abad XIX tidak semata-mata merupakan pekerjaan satu kelas sosial saja dalam masyarakat Banten. Rakyat biasa di pedesaan tidak merupakan pelaku tunggal dalam pemberontakan. Hampir pemberontakan dipimpin oleh orang yang bukan petani biasa. Mereka mempunyai kemampuan untuk mempunyai keinginan terpendam dan menyalurkan kekuatan kaum tani yang tidak teratur itu menjadi satu tekanan yang efektif. Kaum tani merupakan kekuatan fisik yang utama dan oleh karena itu merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam pemberontakan-pemberontakan itu. 

Peranan Unsur-Unsur Perubahan dalam Gerakan-gerakan Protes

Pertengahan pertaama abad XIX yang dinamakan perampok, bandit atau penyamun di Banten sering kali anggota kaum pemilik tanah yang terkemuka atau kaum aristocrat lama yang kehilangan harta bendanya, lalu menempuh jalan di luar jalur hukum untuk membela diri dan mempertahankan hak-haknya. 

Kaum pemberontakan dengan mudah berubah menjadi gerombolan-gerombolan perampok sehingga orang tidak dapat menarik garis batas yang tajam antara pemberontakan dan perampok. Sejarah Banten menunjukkan dalam pertengahan pertama abad XIX bandit-bandit pemberontakan itu nampaknya mempunyai watak politik yang jelas karena mereka menghasut agar melakukan perlawanan yang gigih melawan pemerintah kolonial. Menjelang tahun 1880-an bandit-bandit tidak mempunyai ikatan dengan gerakan-gerakan pemberontakan dan yang tujuan utamanya melakukan penggarongan tanpa pilih bulu. 

Satu Dasawarsa Situasi Politik Yang Memburuk (1808-1819)

Kerusuhan-kerusuhan setempat terus bermunculan silih berganti, beberapa diantaranya berkembang menjadi pemberontakan yang sesungguhnya. Dalam tahun 1809 segerombolan apa yang dinamakan bajak laut sebagai jawaban atas beban kerja yang melampui batas yang dikenakannya oleh Daendles. 

Sultan dinobatkan kembali tahun 1810 untuk memerintah Banten Selatan. Tetapi dibawah pemerintahan sultan tidak terjadi perbaikan situasi oleh karena administrasinya, sepanjang yang menyangkut pemeliharaan ketertiban luar negeri, pada dasarnya lemah dan korup. Tahun-tahun selanjutnya, keadaan Banten terus kacau dan tidak aman. 

Pemberontakan-pemberontakan Berkala antara 1820-1845

Pembentukan sebuah organisasi administrasi baru pada pertengahan tahun 1819 merupakan satu langkah yang diambil pemerintah dalam tekadnya untuk memperbaiki situasi di Banten. Setelah kesultanan dihapuskan di Banten, tidak ada tahun yang lewat tanpa pemberontakan, setidaknya pemberontakan besar yang terjadi pada tahun 1820, 1822, 1825, dan 1827. Di tahun 1830-an kembali terjadi secara berturut-turut pada tahun 1831, 1833, 1836, dan 1639. Tahun-tahun tersebut merupakan titik puncak kerusuhan yang berlangsung terus selama dasawarsa. 

Sebab utama pemberontakan yang silih berganti yaitu ketidakpuasan dan rasa dendam tersisihnya kaum aristokrasi Banten yang lama, yang merindukan masa keemasan. Selain itu juga karena sifat orang Banten yang terkenal sangat mementingkan agama. 

Pemberontakan Wakhia Tahun 1850

Penghasut pemberontakan ini ialah Raden Bagus Jayakarta, patih Serang. Ia merasa dendam karena dua kali dilampaui dalam hal pengangkatan bupati. Ia berusaha mencari bantuan di kalangan pemuka-pemuka setempat yang berpengaruh. 

Perampokan, Banditisme dan Kegiatan di Luar Hukum

Banten tidak hanya telah mengalami pemberontakan-pemberontakan terbuka, tetapi juga perkembangan dunia hitam kaum perusuh di pedesaan. Pada abad XIX, bandit-bandit muncul bersamaan dengan pecahnya pemberontakan-pemberontakan, sedangkan kemudian hari kegiatan mereka mengalami pasang naik dan surut sejalan dengan tingkat keefektifan administrasi. Pejabat-pejabat dan pengurus desa tidak bisa diharapkan akan memperlihatkan antusiasme yang besar untuk memberantas perusuh-perusuh tersebut. 

Kencenderungan untuk memberontak di Banten disebabkan oleh factor-faktor yang kompleks dan beraneka macam. Kemelaratan yang umum, administrasi yang buruk, ketimpangan di bidang ekonomi, ambisi pribadi semua factor tersebut memainkan peranan dalam pemberontakan yang terjadi di Banten abad XIX. 

Bab V: Kebangunan Agama

Kecenderungan-kecenderungan Umum

Akhir abad XIX merupakan suatu kebangkitan kehidupan agama. Dalam kebangkitan religiositas itu terdapat suatu reaksi tertentu terhadap westernisasi, akan tetapi jelas ada berbagai jenis tanggapan dan tingkat kecepatan penyesuaian yang berbeda-beda. Secara berangsur-angsur gerakan bangkitnya agama berkembang menjadi badan-badan politik keagamaan. Kebangkitan tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang naik haji, pertumbuhan pesat pesantren dan tarekat-tarekat Sufi, dan beredarnya secara luas ramalan eskatologis. Sebab timbulnya gerakan kebangunan itu untuk sebagian bersifat keagamaan yang lahir dari keprihatinan terhadap kemorosotan iman di kalangan rakyat.

Ibadah Haji

Kebangunan kembali Agama Islam merupakan satu fenomena yang tersebar luas dalam bagian akhir abad XIX. Di bagian-bagian yang luas dalam dunia Islam, terjadi kelahiran kembali keyakinan umat Islam terhadap agama mereka, yang menampakkan diri bukan saja dalam sikap yang lebih taat dalam menjalankan ibadah dan mematuhi syariat, melainkan dalam propaganda yang agresif yang bertujuan memperbesar kekuasaan Islam. 

Kaum ulama atau haji yang telah mendapat pendidikan di Mekkah atau yang diilhami oleh semangat Mekkah, baik secara pribadi maupun melalui murid-murid mereka, mendorong dan mempelopori gerakan-gerakan kebangunan di berbagai daerah di Indonesia.

Pesantren

Pesantren tidak hanya mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam, akan tetapi juga memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berfikir orang Islam. Ketaatan yang mutlak pada Kyai, satu disiplin yang keras dalm kehidupan sehari-hari dan persamaan serta persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. 

Gerakan Tarekat

Tarekat merupakan alat yang baik untuk mengorganisasikan gerakan keagamaan dan menjalankan indoktrinasi tentang cita-cita kebangkitan kembali. Di Pulau Jawa abad XIX hanya ada tiga tarekat yang penting artinya, yaitu Kadiwiyah, Naksibandiyah, dan Satariyah.

Aspek-aspek Eskatologis Gerakan-garakan Keagamaan

Satu ciri yang cukup lazim dari gerakan-gerakan kebangunan agama adalah munculnya ide-ide milenari, dalam hal ini ide eskatologis Islam, mencakup pula harapan akan kedatangan Mahdi. 

Gerakan Jihat

Gerakan kebangunan Agam Islam juga berkaitan dengan kesadaran yang kuat di kalangan rakyat bahwa negeri mereka harus dianggap sebagai dar al-Islam yang untuk sementara waktu diperintah oleh penguasa-penguasa asing. Ada satu keyakinan yang kuat bahwa, begitu keadaannya memungkinkan, negeri mereka akan diubah dengan menggunakan kekuatan dan menjadi wilayah Islam yang sejati. Hal ini merupakan tahap dimana gerakan kebangkitan kembali agama Islam dijiwai oleh fanatisme yang menggelora dan menjelma menjadi satu gerakan jihat. 

Khatib-khatib Keliling dan Buku-buku Khotbah yang Beredar

Gerakan militant untuk membangunkan Islam di Indonesia itu juga dipercepat oleh pengaruh para Syarif, Sayid, atau Syekh tarekat-tarekat mistik yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. 

Buku-buku khotbah sholat Jum’at di masjid yang beredar luas diamati dengan cermat oleh pihak yang berwajib yang merasa curiga. Ada khotib-khotib yang berkhotbah dengan menggunakan bahan dari buku yang bernama Maj-mu’al Khatab. 

Ledakan-ledakan Fanatisme Agama yang Terpisah-pisah

Beberapa ledakan semangat keagamaan berupa perbuatan-perbuatan kekerasan dapat menunjukan jalannya peristiwa yang akan memuncak dalam pemberontakan Cilegon dalam tahun 1888. Akan tetapi, gerakan-gerakan protes itu masih terpisah-pisah dan bersifat setempat. 

Unsur-unsur Gerakan Protes yang SangatPenting

Unsur-unsur penting gerakan protes tersebut yaitu struktur organisasi tarekat-tarekat dan peranan politik pemimpin-pemimpin agama. Tarekat dan Kyai kedua-duanya merupakan inti kekuatan-kekuatan yang menimbulkan pemberontakan Banten itu.

Bab VI : Gerakan Pemberontakan

Haji Abdul Karim

Haji Abdul Karim menjadi yang paling menonjol diantara pemimpin-pemimpin gerakan itu. ia mendirikan sebuah pesantren dan oleh karena ia sudah terkenal, maka dalam waktu singkat ia sudah mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh kepadanya. 

Kyai Haji Tubagus Ismail

Kyai Haji Tubagus Ismail merupakan bangsawan Banten yang masuk anggota tarekat Kadiriah dan menjadi salah satu murid dari Haji Abdul Karim. Ia mulai berpropaganda untuk gerakan pemberontak melawan kekuasaan orang-orang kafir. Sejak permulaan kampanyenya, banyak kyai yang terkenal sudah menyetujui gagasan-gagasannya dan menyatakan bersedia mendukung tugas sucinya. 

Pematangan Gagasan Pemberontakan 

Sejak tahun 1884, gagasan mengenai pemberontakan sudah matang, dan para pemimpinnya sudah tidak sabra lagi untuk bertindak. Pemberontak-pemberontak begitu pandai merahasiakan rencana-rencana komplotan mereka sehingga selama bertahun-tahun pemerintah kolonial tidak dapat menemukan fakta-fakta yang bisa dijadikan alas an untuk menangkap mereka. Sementara itu semangat pemberontakan sudah meliputi masyarakat Banten. 

Haji Marjuki

Haji Marjuki telah memainkan peranan yang sangat penting dalam gerakan itu. Ia menjadi salah satu pengikut Haji Abdul Karim yang paling setia dan paling disenangi. Propagandanya dengan cepat dapat diterima oleh umum, karena ia bertindak atas perintah Haji Abdul Karim. 

Haji Wasid

Haji Wasit mengabdikan dirinya kepada perjuangan untuk tujuan suci sampai ia menemui ajalnya yang tragis dalam suatu pertarungan dengan pengejar-pengejarnya. Ia baru tampil sebagai pemimpin pemberontak beberapa tahun sebelum pemberontakan itu pecah. Ia cukup lihay untuk menarik keuntungan dari suasana kebangunan agama yang sedang meliputi lingkungannnya, dengan jalan mengidentifikasikan urusan-urusan pribadinya dengan kepentingan bersama masyarakat. Ia sangat berpengaruh, tidak hanya dalam kedudukannya sebagai guru agama, tetapi juga karena kepribadiannya yang kuat. Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang suka bertengkar dan gampang marah dengan kecenderungan kepada mistik. 

Meluasnya Semangat Revolusioner dan Beberapa Kegiatan Persiapan

Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakhir tahun 1887 dan pertengahan pertama tahun 1888, ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut : (1) latihan pencak dipergiat, (2) pengumpulan dan pembuatan senjata, (3) propaganda di luar Banten dilanjutkan. Kegiatan-kegiatan lain diteruskan, seperti menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Kegiatan-kegiatan gerakan benar-benar ditingkatkan, dan salah satu buktinya yang nyata adalah seringnya diadakan pertemuan oleh pemimpin-pemimpin pemberontak, hamper setiap minggu. 

Enam Bulan Tahap Terakhir Persiapan

Semangat revolusioner semakin menggelora dari hari ke hari, para kyai dan murid-murid mereka sudah tidak sabra lagi, mereka berpendapat bahwa saat yang paling baik sudah tiba untuk melancarkan pemberontakan yang pasti akan berhasil. Mereka lebih giat lagi mengadakan pertemuan-pertemuan.

Menjelang Pemberontakan 

Menjelang pemberontakan diwarnai dengan kesibukan yang luar biasa, dimana dilangsungkan pertemuan-pertemuan terakhir dan diambil keputusan-keputusan serta persiapan-persiapan terakhir. 

Para kyai dan murad-murid ambil bagian dalam arak-arakan dengan mengenakan pakaian serba putih dan sepotong kain yang diikat di kepala. Takbir dan kasidah dengan iringan rebana menambah semaraknya suasana. Dua kereta penuh dengan orang berpakaian putih, yang merupakan bagian dari arak-arakan tersebut. Segala sesuatunya kelihatan khidmat. Orang-orang terus bertambah semakin banyak, dengan bersenjata membawa golok dan tombak dipimpin oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail, bergerak dari Cibeber ke arah Saneja, salah satu tempat pemusatan yang penting, dimana mereka menantikan tanda yang segera akan diberikan untuk menyerang. 

Bab VII : Pemberontakan Dimulai

Adegan pembuka tragedy berdarah yang berangsung selama bulan Juli itu telah direncanakan di Desa Saneja yang berbatasan dengan Cilegon. Sebagai ibukota afdeling Anyer, Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, Eropa dan pribumi, yakni asisten residen, kontrolin muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. 

Serangan Pertama

Serangan pertama yang dilakukan oleh para pemberontak yaitu menyerbu rumah Dumas di pagi hari, namun dalam penyerbuan tersebut Dumas berhasil lolos dan bersembunyi ke rumah tetangganya, istri dan anaknya pun ikut bersembunyi di rumah Jaksa dan Ajun Kolektor. 

Sementara peristiwa itu berlangsung di bagian tenggara Cilegon, sepasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju Kepatihan. Patih termasuk diantara orang-orang yang hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. 

Serangan Umum

Perintah untuk memulai serangan disambut oleh kaum pemberontak yang sudah berkobar-kobar semangatnya dengan teriakan Sabil Allah. Pekik perang ini bergemuruh dan bergema dan terdengar jelas di semua kampung di Cilegon dan sekitarnya. 

Pengejaran Terhadap Orang-orang yang Melarikan Diri

Setelah Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak, dilancarkan usaha besar-besaran untuk mencari pejabat-pejabat yang berhasil meloloskan diri. Salah satu dari pejabat yang berhasil meloloskan diri yaitu grondhout. Ia melarikan diri dengan embawa sepucuk senjata api. Pemburu utama Groundhout yaitu Lurah Kasar, Haji Masna dari Pecek, Sarip dari Kebangkepuh, Haji Hamim dari Temuputih, dan Haji Kamad dari Pecek. 

Pusat Peristiwa

Dengan tekanan khusus kepada usaha pengejaran yang dilakukan oleh kaum pemberontak terhadap pejabat-pejabat dan anggota-anggota kerabat mereka yang melarikan diri. 

Dengan mengisahkan nasib pejabat-pejabat dan anggota-anggota kerabat mereka, ketika mereka dikejar tanpa ampun oleh kaum pemberontak. Sementara serangan umum berlangsung dengan sengitnya, satuan-satuan pemberontak dari segala jurusan terutama dari utara, terus mengalir berdatangan untuk bergabung dengan pasukan induk. 

Pengejaran Terhadap Gubbels

Gubbles merupakan asisten residen. Dua hari sebelum pemberontakan dimulai, ia meninggalkan Cilegon untuk menyertai Residen dalam perjalanan inspeksinya di afdeling Anyer. 

Di Markas Pemberontak 

Istri Dumas dan anak-anaknya yang bersembunyi ditangkap pemberontak dan mengancam dengan siksaan. Kemudian ia meminta ampun dan mengatakan bahwa ia bersedia untuk masuk Islam. Kaum pemberontak merasa puas dengan pernyataan itu dan memutuskan untuk tidak membunuh wanita beserta anaknya tersebut. Mereka kemudian dibawa ke rumah asisten residen dan mereka harus menghadap tuan raja. 

Raden Penna Bertindak

Ketika pemberontakan mulai berkobar di Cilegon, patih Anyer, Raden Penna secara kebetulan berada di Serang. Ia mendapat kabar bahwa rumah Dumas telah digedor dan Dumas terluka parah. Raden Penna tidak kehilangan akal dan bertekad untuk menghadapi pemusuh-pemusuh itu. Raden Penna berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan orang-orang yang bersedia berangkat ke Cilegon untuk melawan kaum pemberontak. Oleh karena penduduk Anyer Kidul belum pulih dari panic mereka, maka diperlukan waktu lama untuk mengerahkan sukarelawan dalam jumlah yang cukup banyak untuk disusun menjadi regu penolong. 

Pemberontakan di Kecamatan-kecamatan

Pemberobtakan sudah berkobar di Cilegon, huru-hara pecah ditempat-tempat lain, seperti Bojonegoro, Balagendung, Krapyak, Grogol dan Mancak. 

Pemusatan Pasukan Pemberontak Sekitar Serang

Pada tanggal 9 Juli, satuan-satuan pemberontak dari distrik Serang dan daerah-daerah sekitarnya, semuanya berkumpul di Bendung, Trumbu, Kubang, Kaloran, dan Kaganteran. Pasukan pertama dipimpin oleh Haji Muhammad Asik, pasukan kedua dipimpin oleh Haji Muhammad Kanapiah dan Haji Muhidin, pasukan ketiga oleh Katab, dan pasukan keempat oleh Raim. 

Hal yang Menarik Mengenai Pemberontakan

Pemberontakan itu merupakan buah hasil satu rencana yang menyeluruh. Organisasi yang digunakan untuk melaksanakan pemberontakan itu, meliputi seluruh afdeling Anyer dan distrik-distrik bagian barat kabupaten Serang. Rupanya distrik-distrik di bagian timur kabupaten itu di bagian utara kabupaten Pandeglang tidak termasuk dalam daerah utama pemberontakan. Di daerah itu, tidak terjadi kerusuhan-kerusuhan. 

Bab VIII : Penuntasan Pemberontakan dan Kelanjutannya

Distrik-distrik di bagian barat afdeling Serang dapat dianggap bagian dari daerah utama pemberontakan bulan Juli 1888. Sebelum gelombang pemberontakan dapat mencapai ibukota Keresidenan BAnten, reaksi dari pihak pemerintah sudah berjalan. 

Pertempuran di Toyomerto

Pasukan pemberontak satu demi satu berangkat menuju ibukota, mereka membentuk satu barisan dan dibawah pimpinan Haji Wasid dan kawan-kawan, maju terus. Ketika mereka mendekati Toyomerto, mereka melihat kerumunan orang-orang bersenjata yang menutup jalan. Sementara pasukan tentara mendekat, kaum pemberontak mendapat bala bantuan dari berbagai jurusan. 

Operasi Pertolongan

Setibanya di Anyer Lor, Raden Penna dengan buru-buru mengumpulkan orang-orang yang bersedia menyertainya untuk berangkat menuju Serang. Dalam keadaan ketakutan setelah mendengar cerita menyeramkan peristiwa di Cilegon, kebanyakan orang di Anyer Lor menolak untuk ikut. Keesokan harinya, Raden Penna berhasil mengumpulkan sekitar tigabelas orang, mereka berangkat ke Cilegon dengan bersenjatakan dua senapan Beaumont, dua senapan berburu, dua senapan lantakan dan beberapa tombak. 

Tindakan Ekspedisi Militer

Untuk menumpas pemberontakan yang hampir padam, dikirimkan pasukan-pasukan ekspedisi ke berbagai jurusan. Pasukan-pasukan militer yang mengadakan patrol, pada umumnya dimaksutkan untuk memamerkan kekuatan, selain itu mereka ditugaskan untuk melakukan penangkapan-penangkapan dan mengambil tindakan-tindakan terhadap kaum pemberontak. 

Pemberontak Berjuang Terus

Setelah pasukan pemerintah menyerang daerah yang berarti penting bagi pemberontak, mereka tanpa henti-hentinya mengejar pemimpin-pemimpin pemberontak yang mash berkeliaran dengan anak buah mereka yang masih sedikit jumlahnya. 

Perlawanan Pemimpin-pemimpin yang Memisahkan Diri

Dua orang pemimpin pemberontak, yakni Haji Madani dan Haji Jahli menemui ajal mereka setelah memisahkan diri dari induk pasukan. Awalnya kedua haji itu menuju Cipinang lalu bersembunyi di masjid desa itu. Setelah lama bersembunyi, mereka dikepung oleh pengejar-pengejarnya. Meskipun tidak mungkin bagi keduanya untuk meloloskan diri, mereka menolak untuk menyerah. Mereka nekat melawan samapai mati. Menghadapi keberanian yang tak kenal menyerah itu, komandan pasukan memerintahkan anak-anaknya untuk menembak. Mayat kedua haji tersebut diangkat ke Cilegon. 

“ Long March” Ke Selatan 

Haji Wasid dan mayoritas pasukan berangkat kearah selatan. Rute yang diambil oleh Haji Wasid adalah rute yang melalui medan yang sangat berat dan ditutupi oleh hutan lebat yang banyak macannya. Mereka bergerak dengan kecepatan yang tinggi namun tidak cukup cukup cepat untuk melepaskan diri dari kejaran pemerintah. 

Kekalahan Terakhir

Kaum pemberontak yang mempertahankan diri sekuat tenaga, berulang-ulang menyerang, akan tetapi situasinya nampaknya sudah tidak memberi harapan. Ketika pertempuran berakhir, gerombolan pemberontak itu sudah dimusnahkan, kecuali beberapa orang yang berhasil melarikan diri, maka berakhirlah tragedi yang mengerikan itu. 

Tanda-tanda Pemberontakan Baru

Meskipun Banten keliahatan tenang setelah pemimpin-pemimpin pemberontak ditangkap, semangat keagamaan belum berkurang dan jiwa pemberontak dikalangan penduduk belum dapat dipatahkan sepenuhnya. Pada pertengahan bulan September 1888, seorang haji berkata dihadapan kerumunan orang di pasar Cilegon bahwa segera setelah kaum pemberontak dibebaskan, pemberontakan baru akan segera dimulai. 

Catatan Tentang Gerakan-gerakan Mileneri di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Dalam pertengahan kedua tahun 1888, sejumlah keresidenan di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan gelanggang pengejaran terhadap gerakan-gerakan milenari. Tanggal 11 Agustus 1888, residen Kediri melaporkan kepada Gubernur Jenderal bahwa ia telah menangkap yang bernama Jasmani beserta pengikutnya yang berjumlah limabelas orang, karena memiliki senjata, jimat dan dokumen yang berbau pemberontakan. 

Bab IX : Kelanjutan Pemberontakan

Setelah api pemberontakan dapat dipadamkan, pemerintah Belanda dihadapkan dalam masalah mengadakan perubahan-perubahan dalam bidang administrasi, bukan saja yang menyangkut operasi sehari-hari aparat administrasi yang sederhana akan tetapi juga untuk mengadakan perubahan yang besar-besaran dalam jangka panjang. Peristiwa-peristiwa bulan Juli 1888 telah memaksa Belanda meninjau kembali politik kolonialnya. 

Mencari Penjelasan 

Pejabat-pejabat pemerintah di Banten selama sehari-hari pertama pemberontakan kebingungan karena tidak mengetahui apa yang menyebabkan kerusuhan-kerusuhan itu. Para wartawan yang haus akan informasi mengenai pemberontakan itu telah mendapat penjelasan dari para komandan militer, pejabat-pejabat pemerintah dan korban-korban yang selamat, masing-masing dengan rekan-rekan atau teori-teori piciknya sendiri, mulai dari orang yang mengemukakan ide tentang pemberontakan yang meliputi seluruh negeri sampai kepada orang yang menganggap persoalannya sebagai peristiwa setempat saja.

Pandangan-pandangan Kontemporer

Orang-orang belanda di negeri mereka sendiri ikut dalam usaha mencari sebab-sebab pemberontakan dan perdebatan seperti yang disebutkan diatas bergema pula dalam pers Belanda. Sebaliknya, orang-orang Indonesia sendiri jauh kurang artikulat dalam hal ini.

Selain pendapat umum, terdapat pula pandangan anggota pemerintah colonial yang sejak semula sangat sibuk dengan penyelidikan praktis mengenai sebab-sebab pemberontakan itu.

Laporan Komisaris Pemerintah

Tidak dapat disangkal bahwa pecahnya pemberontakan itu disebabkan oleh sudah menumpuknya perasaan tidak senang dikalangan penduduk. Van Vleuten diangkat sebagai Komisaris Pemerintah, dan tepat 8 hari setelah pecahnya pemberontakan ia sudah berada ditempat untuk melakukan penyelidikan diseluruh daerah itu. Sekitar dua bulan kemudian, laporannya dikeluarkan. Laporan itu sangat merugikan reputasi pamongpraja pada umumnya, dan pejabat-pejabat Banten pada khusunya. Rupanya laporan itu juga telah menimbulkan kegelisahan di kalangan pemerintah pusat.

Pengaturan-pengaturan Administratif

Pengaturan yang paling mendesak adalah mengenai pengangkatan seorang asisten residen di afdeling Anyel untuk mengisi lowongan yang disebabkan oleh kematian Gubbles. Langkah selanjutnya yaitu membebaskan Raden Penna dari tugasnya.

Satu diantara persoalan-persoalan yang paling penting dan jauh jangkauannya yang diajukan setelah pemberontakan itu adalah sampai sejauh mana bupati Serang, R.A.P. Gondokusumo, bertanggungjawab atas pecahnya pemberontakan itu.

Penempatan Detasemen-detasemen Tentara

Pada akhir tahun, masih terdapat detasemen-detasemen tentara di tempat-tempat dimana telah dikerahkan kontingen-kontingen pemberontak yang besar selama pemberontakan, seperti Cilegon, Bojonegoro, dan Balagendung. Dikedua tempat terakhir, detasemen-detasemen itu yang masing-masing berkekuatan 17 orang, hanya akan ditarik setelah hukuman yang dijatuhkan oleh MA terhadap kaum pemberontak dilaksanakan.

Masalah Kedudukan Kepala Desa

Sifat kerusuhan-kerusuhan selama pemberontakan tidak disangsikan lagi telah ikut menyingkapkan ketidakberdayaan kepala desa. Semua itu disebabkan karena beban resiko yang melekat pada jabatan mereka tidak mendapat imbahan yang secukupnya. 

Masalah Pajak

Satu masalah penting lainnya yang dihadapi pemerintah di Banten adalah beban pajak. Beban pajak ini sangat dirasakan oleh penduduk desa dan sangat merepotkan baik penduduk desa maupun pejabat. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membuat suatu system perpajakan yang dapat dilaksanakan terutama setelah pemberontakan, perhatian pihak berwajib ditujukan kepada persoalan itu. Residen Banten berpendapat bahwa pemerintah tidak mungkin kembali kepada system pemungutan sewa tanah secara perorangan tahun itu dan kiranya tidak akan menguntungkan untuk mengambil langkah itu dalam masa depan yang dekat.

Masalah Pencacaran Kembali

Menurut laporan Kepada Dinas Kesehatan Umum, dalam tahun 1889 pencacaran dapat dilaksanakan di Banten tanpa campur tangan atau keluhan dari kalangan rakyat. Disamping itu perlu ditambahkan bahwa orang yang mengecap sikap rakyat Banten sebagai “ogah-ogahan” atau “masa bodoh”, tidak dapat memahami pandangan hidup orang Banten yang mempunyai dasar yang berbeda yang menganggap pencacaran sebagai tidak sesuai dengan keyakinan moral dan agama mereka. 

Masalah-masalah Urusan Agama

Dengan demikian, maka sikap netral terhadap agama tetap merupakan dasar yang sudah digariskan bagi kebijaksanaan colonial Belanda. Namun demikian, memang ada beberapa pembatasan yang dikenakan terhadap perjalanan naik haji dalam abad itu. Berbagai penyalahgunaan dan keburukan-keburukan yang menyangkut perjalanan naik haji telah menimbulkan desakan agar pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbaiki keadaannya.

Kondisi Administrasi

Salah urus sesungguhnya merupakan salah satu masalah yang paling memusingkan di Banten, peristiwa berdarah selama pemberontakan untuk kesekian kalinya memaksa orang untuk memusatkan perhatian kepada kondisi administrasi yang buruk di Banten pada masa itu. 

Tidak berlebih-lebihan kiranya untuk mengatakan bahwa suasana di Banten tahun 1880-an penuh dengan prasangka, kecurigaan, dendam, dan intrik-intrik. Berkat pecahnya pemberontakan Cilegon, banyak diantara hal-hal yang tidak baik itu dapat disingkapkan. Salah satu segi utama dari kondisi yang mengejutkan itu berkaitan dengan persengketaan interen diantara anggota-anggota priyayi Banten, yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang melawan hukum atau tidak terhormat dalam perlombaan dalam memperebutkan jabatan-jabatan administrative didaerah itu.

Bab X : Akhir Kata 

Pemberontakan Banten tahun 1888 ditinjau sebagai satu gerakan social yang ditentukan oleh banyak faktor seperti halnya fenomena sosial. Peristiwa itu dapat ditempatkan didalam konteks perkembangan-perkembangan kelembagaan ekonomi, social, politik dan agama. 

Skala Gerakan dan Faktor-faktor yang Relevan 

Suatu penjelasan mengenai skala gerakan pemberontakan dan operasi-operasinya harus mencakup beberapa factor yang dapat disusun debagai berikut : (1) di Banten terdapat satu tradisi untuk memberontak, (2) didaerah itu terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung terus-menerus pada keadaan dimana satu lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik, (3) dampak penetrasi dominasi colonial secara berangsur-angsur mengacaukan bagian-bagian kehidupan agama, (4) ada satu pimpinan revolusioner, yang memberikan satu landasan rasional kepada gerakan pemberontakan itu, (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengarahkan operasi-operasi dan memobilisasi sumber-sumber daya manusia dan material menurut ruang dan waktu.

Beberapa Aspek Proses Modernisasi

Yang sangat menarik mengenai gerakan-gerakan revolusioner yang tradisional adalah transformasi dari tradisionalitas ke modernitas, yang juga disebut modernisasi. Sesungguhnya, pemberontakan tahun 1888 di Banten dapat dipandang sebagai satu ekspresi protes social terhadap atau suatu penyesuian negative terhadap perubahan social yang dipaksakan dari luar oleh dominasi barat.

Aspek Nativistik

Dilihat dalam perspektif ini, gerakan pemberontakan di Banten dapat digolongkan sebagai satu fenomena navistik, yang mengandung aspek-aspek kebangkitan kembali dan milenarianisme. Didalamnya juga dapat dikenali unsur –unsur eskatologis. Oleh karena rakyat tidak dapat melihat jalan lain untuk meminta keadlilan, mereka cenderung untuk menggabungkan diri kedalam gerakan nativistik ini, yang menjanjikan penghapusan kekuasaan asing dan pemilihan kondisi-kondisi dari masa sebelum penjajahan.

Aspek Ketersingkiran

Bukan hanya keburukan-keburukan ekonomi seperti adanya orang-orang yang lapar, melarat atau yang tidak mempunyai tanah, akan tetapi juga ketersingkiran-ketersingkaran yang disebabkan karena kehilangan kedudukan sosial, kehilangan hak-hak politik, atau kehilangan warisan kultural, bisa menimbulkan frustasi yang tajam. 


Aspek Agama 


Gerakan-gerakan sosial di Banten dengan mudah mengambil bentuk keagamaan, oleh karena pandangan dunia orang Banten didasarkan pada agama dan sebagai akibatnya maka protes-protes sosial selalu dipahami menurut pengertian-pengertian agama. Komponen-komponen agama dalam gagasan milenari yangt terkandung dalam gerakan itu sangat menonjol, rakyat dapat dikerahkan dengan menggunakan himbauan keagamaan. 


Proses Integrasi


Peranan integrative agama dalam gerakan perkembangan sosial itu, sesungguhnya gerakan itu memperlihatkan kecenderungan yang menonjol kearah perkembangan modern, setidak-tidaknya dalam aspek strukturalnya. Akan tetapi perkembangan itu sudah barang tentu merupakan satu kecenderungan yang modern, jika dihubungkan dengan peranan integratifnya dan bukan dengan orientasi tujuan dan aspek-aspek organisasinya. 


Ciri-ciri Khas Gerakan Pemberontakan di Banten


Ciri yang paling menonjol adalah penolakan dan perlawanan aktif terhadap dominasi asing serta lembaga-lembaga yang menyertainya. Satu ciri umum lainnya yang terdapat pada gerakan-gerakan itu adalah kepercayaan akan kekebalan, yang di dalam masyarakat yang tradisional mempunyai daya tarik yang kuat dan dapat berfungsi sebagai satu alat yang ampuh untuk membangkitkan semanga agresif. 


KESIMPULAN


Abad XIX merupakan suatu periode pergolakan yang disertai perubahan sosial akibat pengaruh Barat yang semakin kuat. Seluruh proses peralihan dari tradisional ke modernitas ditandai oleh goncangan-goncangan yang silih berganti. Di Banten, seperti halnya di seluruh Indonesia, abad XIX ditandai oleh kontak yang semakin meningkat dengan dunia Barat. Pelaksanaan pajak kepala, peraturan-peraturan tentang rodi dan lain sebagainya, menyebabkan timbulnya pemberontakan di daerah-daerah pedesaan.

Pemberontakan yang terjadi di ujung barat laut pulau Jawa tepatnya di distrik Anyer merupakan salah satu pemberontakan yang terjadi di Banten selama abad XIX. Pemberontakan ini berlangsung secara singkat antara tanggal 9-30 Juli 1888.

Secara garis besar buku ini sangat menarik karena menyuguhkan tema baru dalam dunia historiografi di Indonesia. Selain itu isi dari buku ini cukup komplit, tidak hanya menuliskan apa yang terjadi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya itu terjadi. Pendekatan multi-dimensional yang dilakukan penulis juga memperkaya pembahasan historis permasalahannya. 

Salah satu poin yang patut diacungi jempol adalah keberanian Prof Sartono dalam mengambil langkah baru dalam historiografi Indonesia-sentris. Dapat kita lihat usahanya membuat sejarah Indonesia yang lebih komprehensif. Ia menyelidiki masalah-masalah yang oleh para ahli sejarah saat itu dianggap kurang penting. Pemberontakan-pemberontakan yang merupakan gerakan sosial dalam arti luas, dengan aktor wong cilik telah dilupakan oleh ahli-ahli sejarah kolonial. 

Kekurangan buku ini sangat klasik didapati pada buku-buku terjemahan lainnya, bahasanya kaku dan kurang efektif sehingga sulit dicerna. Sebenarnya wajar bagi buku ilmiah terjemahan seperti ini, apalagi karangan cendekiawan semacam Prof Sartono. Namun alangkah lebih baiknya apabila bahasa diperhalus sehingga tidak memerlukan usaha yang cukup keras untuk mengerti setiap bagiannya. Bagi pembaca awam akan sangat sulit mencernanya. 

Faktor lainnya ialah buku ini cetakan tahun 1984 dan belum diperbaharui sampai sekarang. Sehingga pembahasaannya ketinggalan jaman dan kurang luwes. Namun secara keseluruhan penyajian buku ini cukup bagus. Apalagi dalam mempelajari historiografi Indonesia-sentris.

Buku ini merupakan tulisan sejarah yang lengkap dari segi sajian dan catatannya (lampiran) dengan sudut pandang yang berbeda Prof Sartono menghadirkan kekayaan historiografi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
Title : Contoh Makalah Sejarah tentang Pemberontakan Petani Banten 1888
Description : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makalah ini berisi pembahasan mengenai buku yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888...

0 Response to "Contoh Makalah Sejarah tentang Pemberontakan Petani Banten 1888 "

Facebook

Dilindungi