Pengelolaan an eksploitasi hutan di Hindia Belanda memasuki babak baru. Sistem blandong lama dihapus menyususl lahirnya peraturan kehutanan baru pada 1865 yang dijiwai semangat liberal. Pada bagian akhir abad ke-19 peran swasta dalm berbagai kegiatan ekonomi hindia belanda, termasuk eksploitasi hutan jati, semakin penting. Meskipun tahun 1865 beberapa usaha penebangan hutan secara terbatas telah melibabtkan pengusaha swasta. Peran swasta menjadi penting setelah pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pengusaha swasta dalam eksploitasi hutan jati melalui kontrak. Dalam perubahan prubahan seperti itu tersjadilah kolaborasi antara pemerintah dan kapitalis swasta dalam mengeksploitasi kekayaan hutan.
A. Hutan Negara dan pengelolaannya
1. Batsan hutan Negara
Pengertian hutan negara yaitu kawasan hutan yang secara langsung di kuasai dan dikelola oleh negara. Konsp hutan negara berasl dari paham omein yang menyatakan bahwa negara menjadi penguasa dan pemilik seluruh sumber daya yang berada di wilayah kekuasaannya. Penguasaan dan pengelolaan hutan di karesienan Rembang tidak apat dipisahkan dengan kebijakannya kehutanan yang berlaku diseluruh wilayah Hindia Belanda. Dalam peraturan kehutanan yang cukup penting dilakukan pada 1865.
Peraturan kehutanan yang baru sebenarnya menyiratkan bahwa adanya usah Pemerintah Hindia Belandauntuk mengubabh paradikma lama dalam pengelolaan dan eksploitasi hutan. Dalam pelaksanaannya, peraturan kehutanan 1865 ternyata masih mengandung banyak kelemahan. Misalnya pemisahn hutan jati yang dikelola secara teratur dan secara tidak teratur mengakibatkan musnahnya hutan jati yang disebutkan kedua. Demikian pula adanya tentang pembatasan dan pengadaan kayu untuk pembangunan perumahan , industri perkapalan, kerajinan, bahan bakar dan lain-lain.
Penataan hutan negara yang dilakukan dengan pengukuran, pemetaan, penetapann kawasan-kawasan batasan hutan, pemasangan pathok, dan lain-lain. Mengakibatkan beberapa lahan hutan yang sebelumnya menjadi bagian dari wilayah desa hutan dinyatakan menjadi kawan hutan negara. Dengan demikian banyak desa hutan kehilangan sumeber daya ekonomi yang menjadi tumpuan hidup penduduknya. Dalam peraturan kehutanan 1874/75 disebutkan adanya larangan penebangan, baik untuk lahan pertian pangan maupun inustri perkebunan. Apapun alsannya, tanpa adanya izin dari pemerintah, penebangan oleh siapapun dilarang. Penduduk yang tinggal didalam atau sekitar hutan, yang semula diperbolehkan menebang kayu di hutan kayu jati di wilayah hutan jati kategori kedua.
Seperti telah dijelaskan diatas, agar pengelolaannya dan pengawasan hutan berjalan efektif, maka ditetapkan beberapa kawasan yang disebut kesatuan pemakngkuan hutan. Pemangkuan hutan mencangkup penataan, eksploitasi, konservasi dan pengamanan hutan. Berdasarkan ketentuan kehutanan 1865 dan1874, eksplotasi hutan jati harus dilakukan dengan perantaraan pemborong yang ditetapkan dengan tender, atau karena alasan tertentu, dilakukan di bwah tangan.
2. Pemangkuan Hutan dan perluasan Birokrasi
Pengelolalaan hutan negara dilakukan besama-sama antara Jawatan Kehutanan dan pemerintah daerah. Dalam rangka penguatan institusi kehuutanan, melalui ordonasi 30 januari 1869 pemerintah Hindia Belanda menetapkan personil Jawatan Kehutanan yang baru. Untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan, wilayah hutan di jawa dan madura dibagi kedalam 13 distrik dan masing-masing dikelola seorang houtvester.
Pegawai kehutan dibedakan menjadi dau kelompok, yaitu urusan teknis dan urusan keamanan. Yang disebutkan pertama bertugas mengatur dan mengelola hutan secara umum, mengawasi, dan menjaga hutan. Tugas personil urusan keamanan adalah menjaga hutan negara dari gangguan keamanan dan membantu pekerjaan lain dilapangan.
Kawsan pemangkuan hutan yaitu kawasn hutan jati yang dikelola secara teratur, biasanya ditetapkan dengan ukuran luas tertentu dan dibuat peta, dibatasi patok dan jalan, dan dibawah pengawasan perusahaan perhutanan. Pemangkuan hutan sebagai strategi baru dalam pengelolaan hutan jati yang dimulai sejak 1897 semakin ditingkatkan. Untuk melindungi hutan, kepala kesatuan pemangkuan hutan dibantu polisi hutan, mantri an boshwachter, yang melakukan penjagaan hutan secara terpadu. Polisi hutan juga ditugasi membantu pengawasan kegiatan teknis kehutanan seperti penebangan, pengangkutan, dan peremajaan. Dengan demikian ia mengambil alih sebagian tugas boschopziener dengan penugasan ini polisi hutan diangkat menjadi opziner teknis.
Pada tahun 1920-an, pengelolaan dan penataan hutan jati dibagi-bagi ke dalam satuan wilayah inspeksi yang dinamakan opperhoutvesterij atau gabungan dari beberapa houtvestirijen. Pembentekan satuan wilayah inspeksi ini dilakukan sesudah dilakukan penataan kawasan hutan jati dikerjakan secara keseluruhan
B. Eksploitasi Hutan oleh Swasta
Eksploitasi hutan yang berlangsung dikabupaten rembang pada akhir abad ke-19 menampilkkan sebuah ironi. Ketika negara mempunyai otoritas yang semakin kuat dalam menguasai hutan, justru pengelolaan hutan khususnya dalam kegiatan penebangan diserahkan kepada swasta. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya, yaitu ketika negara masih belum mempunyai infrastruktur yang memadai untuk mengelola dan mengawasi hutan, eksploitasi sumber daya hutan negara dengan melibatkan penduduk desa hutan.
Masuknya pengusah swasta dalam kegiatan eksploitasi hutan secara jelas dianyatakan dalm ayat 9 peraturan 1865 yang berbunyi ; “eksploitasi hutan sepenuhnya diserahkkan kepada industri partikulir.” Eksploitasi hutan berdasarkan peraturan kehutanan 1897 meliputi penebangan dan pangangkutan kayu, yang berupa eksploitasi teratur (dilakukan dengan perantara pemborong) dengan ikatan kontrak yang dimenangkan oleh tender, atu bisa juga berupa eksploitasi tidak teratur.
Di Karesidenan Rembang, beberapa pengusaha swasta mengadakan kontrak kerja diwilayah-wilayah satuan persil yang telah ditetapkan batas-batasnya. Kayu hasil tebangan biasanya dipacak didalam hutan menjadi bentuk persegi atau dibuat kayu bengkok.hasil kayu tebangan dijual di pasar dengan harga 40-45 gulden per kubik kayu ukuran kecil.
Perusahaan penebangan hutan di Karesidenan Rembang terus bertambah. Sampai dengan akhir 1897, di Rembang terdapat 16 perusahaan penebangan yang dimiliki oleh sembilan kontraktor. Sentral-sentral penebangan hutan sebagian besar berada diwilayah bagian sealtan terutama yang tidak jauh dari bengawan sala. Memasuki abad ke-20 jumlah perusahaan penebangan swasta yang masih beroperasi di Rembang, meskipun jumlahnya menurun.
Di Rembang juga beroperasi persahaan pembersihan lahan, yaitu membersihkan kayu jati yang mati di hutan dan kayu jati yang rebah di tanah (zuivering). Pada 1890, jumlah perusahaan jenis ini hanya berjumlah tiga, sedangkan pada tahun 11897 meningkat menjadi 11, dan pada 1901 berkurang menjadi enam. Berkembangnya perusahaan penebangan hutan di Karesidenan Rembang tersebut menunjukkan bahwa sejak adanya Peraturan Kehutanan 1865, eksploitasi hutan negara oleh industri partikulir terus meningkat. Ribuan hektar hutan dieksploitasi melalui sistem kontrak dengan menggunakan sistem buruh bebas.
Keuntungan lain dari penebangan yang dilakukan oleh pemerintah ialah banyaknya kayu tebangan yang dihasilkan dan keuntungan yang diperoleh. Hasil kayu pertukangan yang diperoleh melalui eksploitasi perusahaan negara pada tahun 1902 nilainya mencapai f20,69 perkubik; sedangkan melalui swasta hanya f12,22. Kayu tebangan biasanya dimanfaatkan untuk bahan pertukangan dan kayu bakar. Sampai dengan akhir abad ke-19 kebutuhan kayu bakar masih cukup besar terutama untuk bahan bakar kereta api dan perusahaan-perusahaan perkebunan.
C. Peremajaan Hutan
Usah peremajaan hutan di kawasan hutan jati Karesidenan Rembang telah dilakukan sejak lama, jauh sebelum kedatangan para ahli kehutanan pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1829 terbit peraturan tentang penguasaan hutan, penanaman, pemeliharaan, dan penebangan kayu jati seluruh jawa. Peraturan itu mewajibkan residen, selain dapat mengelola dan merawat hutan secara bijaksana, juga diwajibkan menanam dan memelihara tanaman muda.
Kegiatan peremajaan hutan jati membutuhkan tenaga dan biaya yang amat besar. Maka banyak ntanaman jati muda yang menjadi merana karena berada jauh dari pemukiman penduduk sehinnga kurang mendapat perawatan. Perawatan ini dimulai sejak tahun 1866 dan masih menggunakan sistem kerja wajib. Kegiatan peremajaan hutan yang sudah berlangsung lama itu menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda sebenernya telah menyadari pentingnya perlindungan hutan jati dari ancaman kerusakan dan kepunahan. Namun, karena jumlah tenaga ahli kuhutanan masih terbatas dan adanya perubahan politik kehutanan, peremajaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal.
Salah satu contoh cara peremajaan pada akhir abad ke-19 adalah sistem tumpang sari. Penerapan sistem tumpang sari dilakukan secar bertahap, yang mencakup periode yang lama, yaitu dimulai tahun 1870-an sampai dengan 1960-an. Sistem ini setiap saat di perbaiki atau dimodifikasi sesuai dengan perkembangan masyarakat disekitar hutan dan kebijakn kehutanan.
Peremajaan dilakukan dengan dua cara, yaitu secara ilmiah dan secara buatan. Cara pertama cukup dilakukan dengan memelihara tunas jati yang tunggul dari kayujati yang tertinggal, sedangkan cara buatan dilakukan dengan menebar benih dilahan buatan atau menyemai benih terlebih dahulu di suatu tempat. Setelah
Description : Pengelolaan an eksploitasi hutan di Hindia Belanda memasuki babak baru. Sistem blandong lama dihapus menyususl lahirnya peraturan kehutanan...
0 Response to "Contoh Resume Hutan Negara dan Penetrasi Kapitalisme dalam Eksploitasi Hutan Rembang Sesudah 1865"