Masyarakat Jawa
Pengertian masyarakat jawa yaitu masayarakat yang beretnis jawa yang masih komitmen terhadap kebudayaan jawa apakah tinggal di Jawa, khususnya di daerah Yogyakarta atau juga diluar Pulau Jawa. Batasan “masyarakat jawa” di atas tidak membedakan orang Jawa dalam varian sebagaimana seperti yang dirumuskan oleh Clifford Geertz, yaitu santri dan abangan, misalnya melainkan lebih ditekankan masihkah anggota masyarakat yang beretnis Jawa tersebut komitmen kebudayaan Jawa atau tidak (sekurang-kurangnya telah mulai luntur).
Walaupun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu terletak di Selatan pulau Jawa, namun daerah ini masih tergolong daerah yang sangat subur, walaupun beberapa daerahnya terdiri dari daerah-daerah yang tandus,terutama didarah Gunung Kidul.
Oleh karena masyarakat yang petani itu hanya percaya begitu pada berita dari mulut ke mulut tentang silsilah orang, kurang lagi mereka juga kurang selektif terhadap informasi yang bersifat dari mulut ke mulut tersebut, maka tak heran kalau masyarakat petani pedesaan memiliki sistem berpikir suka pada apa yang disebut dengan mitos, dimana dalam mitos itu orang menguasai pergaulan masyarakat karena terjelma dari seorang tokoh tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari hukuman yang paling berat adalah, jika seseorang telah dikucilkan dari pergaulan hidup nyata, dalam kehidupan sehari-hari mereka dibiarkan dan diacuhi. Hidup seperti itu khususnya didaerah pedesaan merupakan neraka hidup dan teramat susah dalam menanggungnya.
Dalam istilah lain dikenal juga dengan nama tirakat yang berasal dari bahasa arab, yaitu thariqah, yang karena gejala ablaut, yakni perubahan bentuk kata karena perubahan bentuk bunyi vocal, yang kemudian berubah menjadi tirakat, dalam tirakat itu, dalam percakapan sehari-hari, biasanya dilakukan dengan cara mengurangi makan dan minum, ,mengurangi tidur, banyak samedi dan sebagainya. Dalam tirakat orang jawa memiliki beberapa tradisi yaitu, Poso, Ngruwat, Vegetarier, dan Mutih.
Mengenai kebiasaan tirakat ini, salah seorang tokoh pendidikan nasional, menerangkan bahwa di Jawa pendidikan pada zaman dahulu memakai tirakat tersebut. Caranya yaitu si anak dibiasakan dengan hidup susah dengan menekankan dengan puasa dihari-hari tertentu, misalnya puasa dihari senin dan kamis. Di samping itu juga pada setiap pada malam jumat dilatih dengan tidur disalah satu makam salah satu seorang leluhurnya.
Karena kebiasaan tirakat itu telah sedemikian rupa dalam masyarakat jawa, maka hampir tidak ada masyarakat jawa yang tidak mengenal dengan nama tirakat itu, terutama dikalangan masyarakat tengah baya. Kebiasaan ini diperkokoh lagi dengan lagi oleh ajaran agama islam dengan wujud puasa.
Menurut Sartono Kartono, mengatakan bahwa lambang kepriyayian menjadi beberapa bagian yaitu, (1) Lambang rumah tgempat tinggal, (2) Lambang pakaian resmi dan perlengkapan upacara kebesaran priyayi, (3) Gelar kepripayian (4) Lambang gaya hidup makna kesukaan pada tampilan-tampilan yang dipenuhi dengan makna simbolik.
Patut disinggung bahwa istilah priyayi termasuk di kota Yogyakarta, sebagai dampak dari kemajuan yang dicapai dalm arti luas, nampaknya cenderung memudar. Bahkan andaikata dalam istilah nampaknya priyayi sudah terkapling hanya untuk menyebut orang-orang yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri. Ada gejala bahwa kesadaran pelapisan sosial yang didasarkan pada istilah “priyayi” dan “non priyayi” nampaknya terus menerus mengalami penurunan, dan orang jawa tidak lagi begitu peka terhadap dengan istilah tersebut.
Masyarakat kebudayaan keratin
Menurut sejarah, agama Hindu dipekirakan masuk pada abad ke-4/-5, hal ini yang dibuktikan dengan adanya peninggalan di Kutai (Kalimantan Timur) dan di Jawa Barat. Walaupuna agam Budha juga datang di jawa, namun keberadaannya tidak seperti agama Hindu. Agama Hindu berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan di Jawa ini dan baru berakhir riwayatnya setelah kerajaan Majapahit yang beragama Islam.
Masyarakat Jawa Dan Nilai Kebudayaan
Dalam hal membina mikrokosmos sebagai sentral pengendalian ini, orang jawa berusaha dengan apa yang disebut “ngribi sifate allah” (memiripkan sifat dirinya dengan sifat allah), dalam prakteknya masyarakat memiliki sifat “bersatu” dengan Tuhan.
Masyarakat jawa mengatakan “tidak tahu” kalau ditanya tentang Tuhan karena menurut mereka Tuhan itu adalah “tan kinaya apa” (tidak dapat dipertanyakan seperti apa). Ungkapan itu muncul karena adanya keyakinan, bahwa akan sia-sia saja bahwa kalau ada orang yang berusaha mencari jawaban tentang (hikayat) tuhan itu. Oleh karena itu yang terpenting bagi orang jawa adalah menetakan “ada-nya” dan sangat “menentukan” terhadap keseluruhan daur hidup dan kehidupan manusia ini.
Etika Sebagai Pedoman Hidup
Berdasarkan prinsip “antroposentrisme dan teosentrisme” maka rumusan etika menjadi sentral. Etika yang kesannya bernuansa antroposentrisme ini tidak berarti meninggalkan tuhan, atau dengan kata lain tidak meninggalkan konsep teologis. Sebab etika yang dituntut disitu yang harus berwarna “manunggaling kawula gusti” yang menghasilkan “jalma winilis".
Masyarakat jawa memiliki pandangan bahwa hidup ini bergerak secara klasik (berputar), bukan linear (sekali berlaku sekali hilang). Karena pemahaman siklis ini sudah mendarah daging betul, maka orang menjadi amat takut jika ada kejadian yang kurang menguntungkan berulang kembali pada dirinya, dan sebaliknya orang akan mendambakan munculnya atau hadirnya keadaan yang sangat menguntungkan seperti pernah dirasakan sebelumnya.
Dalam sungkeman Hari idul fitri masih ditambahkan lagi ucapan-ucapan yang berupa permohonan maaf atas segala kesalahan yang telah dibuatnya, kepada orang tua atau orang yang dituakan. Dalam tradisi sungkeman itu memuat tingkah laku yang memiputi prinsip ”kumat” dan “rukun” baik terhadap orang yang lebih tua. Jadi ada ukuran keningratan, dan ukuran kesenioran.
Sungkeman itu sendiri sebenarnya semula merupakan adat keraton, atau adat keluarga keraton. Sungkeman itu dilaksanakan dengan cara mengahadap orang yang dihormati, dalam hal ini raja, lalu dalam posisi duduk yang melakukan “sungkeman” itu yang beradu posisi, kemudian membungkuk kepala dengan mencium bagian lutut raja. Itu kalau tradisi keraton.
Interaksi Islam Dengan Budaya Jawa
Dalam proses kompetisi antara Islam Kultural tradisi besar pesantren (yang didukung oleh sistem madrasi dan sistem sekolah) dengan tradisi besar keraton Jawa. Nampaknya hampir seluruh lini unsur budaya jawa, seperti sistem religi, bahasa, seni, ilmu pengetahuan, sistem organisasi sosial, mata pencaharian dan peralatan hidup, terpengaruh oleh islam kultural tersebut. Dalam unsur religi tampak pengaruh tersebut misalnya, dalam paham mistiknya, dalam unsur bahasa terbukti adanya upaya semacam “semilah” dalam unsur seni terlihat pada proses stilisasi ornament yang berlatar penyamaran gambar hewan, dalam unsur ilmu pengetahuan terlihat pada perhitungan qomariyah, dalam kalender jawa dalam unsur sistem organisasi sosial terlihat adanya pelaksanaan hukum islam.
Title : Resume Buku Makna Agama dalam Masyarakat Jawa Karya Drs. Mohammad Damanim M.Ag. 2002, Penerbit: LESTI Yogyakarta
Description : Masyarakat Jawa Pengertian masyarakat jawa yaitu masayarakat yang beretnis jawa yang masih komitmen terhadap kebudayaan jawa apakah ...
Description : Masyarakat Jawa Pengertian masyarakat jawa yaitu masayarakat yang beretnis jawa yang masih komitmen terhadap kebudayaan jawa apakah ...
0 Response to "Resume Buku Makna Agama dalam Masyarakat Jawa Karya Drs. Mohammad Damanim M.Ag. 2002, Penerbit: LESTI Yogyakarta"