Bukti-Bukti Peninggalan Kerajaan MAJAPAHIT ABAD XIV

Dalam teknik hidrologi, pengelolaan air (water management) dibagi kedalam dua tujuan, yaitu pengendalian atau pengontrolan air (control of water) dan pemanfaatan air (utilization of water). Yang dimaksud dengan pengendalian air di sini meliputi: 1) perangkat keairan berupa bangunan air (bentuk dan fungsi), seperti bendungan (dams), waduk (storage dums), saluran (channel/canel), talang (flume), got miring (chute), terjunan (drop), gorong-gorong (culvert), terowongan air (open-flow-tunnel), dan sumur-sumur (wells), 2) Rekayasa keairan berupa mekanisme atau cara kerja sistem jaringan air (masuk-keluar, serta pembuangan air). Sedangkan pemanfaatan air meliputi: pengairan atau irigasi, sebagai sumber air bersih, penyediaan air minum, transportasi, dan sebagainya (Linsley, 1991; Chow, 1992).[1]


Berdasarkan lokasi dan kisaran luasnya, masalah pengelolaan air sedikitnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori umum, yaitu: 1) Pengelolaan air pada suatu bangunan (rumah tinggal, istana, benteng, dll); 2) Pengelolaan air pada suatu lahan (persawahan, perkotaan, permukiman, dll); dan 3) Pengelolaan air dalam satu kawasan (pegunungan, dataran rendah, Daerah Aliran Sungai, sungai, dll) (Asdak, 1995).[2]

Aspek teknologi merupakan media interaksi langsung antara manusia dengan lingkungan alam. Salah satu cara pemenuhan kebutuhan hidup yaitu dengan penciptaan peralatan, selain pendirian bangunan, dan sebagainya. Kemampuan penataan diri dengan menciptakan sesuatu guna mempertahankan kelangsungan hidup tersebut merupakan ciri utama dari sebuah adaptasi dalam hal teknologi. Strategi adaptasi yang paling umum, dilakukan menurut cara dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Keberhasilan atau kegagalan memungkinkan diikutinya strategi tertentu oleh kelompok-kelompok lainnya. Dengan demikian bisa terjadi keragaman strategi adaptasi yang mungkin bisa ditempuh meskipun dalam lingkungan yang sama. Besar-kecilnya, cepat-lambatnya, serta baru-kunonya cara pemecahan terhadap kendala, masalah, dan sebagainya merupakan gejala yang diharapkan dapat diamati. Letak sumber air sangat mempengaruhi manusia untuk memilih tempat tinggalnya. Lingkungan alam dimana manusia akan memilih dan menentukan tempat tinggalnya banyak bergantung kepada faktor kesuburan tanah dan adanya sumber air (Soejono,1981). Hubungan antara manusia dengan lingkungan alam tidak semata-mata terwujud sebagai suatu hubungan dalam hal manusia mempengaruhi dan mengubah lingkungannya (Budi Utomo B.,1981).[3]

Senada dengan pengertian ekologi budaya berdasarkan Julian Steward (1968), yaitu studi yang mempelajari bagaimana suatu masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi lingkungan hanya berlangsung di unsur budaya tertentu, yakni teknologi eksploitasi sumber daya alam, populasi penduduk, ekonomi dan organisasi sosial. Proses adaptasi budaya dan masyarakat dipengaruhi oleh penyesuaian dasar yang dilakukan manusia dlm mengggunakan lingkungan.[4] Makadari itu penulis mengankat tema ekologi kota Indonesia Lama.

Pada masyarakat yang bersifat agraris, pertanian sejak dahulu memegang peranan penting. Pengembangan negara yang perekonomiannya berdasarkan pada produksi pertanian dapat dicapai melalui pengelolaan air (Van Liere, 1980 dalam Sukarjo,1983). Majapahit adalah sebuah negara agraris yang perekonomiannya didasarkan pada sistem pertanian padi dengan irigasi di sawah (Soewadji 1980 dalam Sukarjo,1983). Pemerintah kerajaan membuat waduk dan saluran-saluran air untuk persediaan di muim kemarau dari sungai-sungai besar yang letaknya beberapa kilometer dari Trowulan, untuk kepentingan masyarakat dan perekonomian negara. Salah satu ciri sebuah kota dalah adanya waduk-waduk dan saluran air (Satari S.,1980).[5]

A. Bangunan Air

Perangkat keairan merupakan sarana dalam pengelolaan air yang berupa bangunan-bangunan. Beberapa bangunan air yang kita kenal sekarang ini antara lain adalah: 1) bendungan, yaitu suatu bangunan yang dibuat melintang pada aliran sungai, berfungsi sebagai sumber air buatan. Saluran merupakan bangunan air yang biasanya dibuat guna keperluan kelancaran aliran air,antara lain dikenal dalam bentuk saluran (channel/canal); 2) Saluran air umumnya panjang,relatif lurus, dan merupakan selokan landai terbuka (open channel) yang dibuat di tanah dan sifatnya natural (apa adanya di tempat itu), namun ada pula saluran yang dilapisi bata atau ditembok, 3) terowongan (open-flow tunnel) yang berfungsi sebagai penjemput air; 4) sumur (well) yang artinya bersumber dari air tanah yang dibuat guna memperoleh air bersih yang berasal dari tanah.[6]

Berbicara tentang bangunan air di Majapahit, kita mengenal waduk dan kanal, termasuk di dalamnya kolam dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisa bangunannya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pemerintah kerajaan dan masyarakat Majapahit membuat bangunan-bangunan air tersebut sebagai fungsi pengelolaan air. Kanal dan saluran air dibangun untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk; kolam-kolam berfungsi sebagai tempat penampungan dan penyimpanan air serta pengendali banjir.

Hasil penelitian membuktikan sekurangnya terdapat 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuno, Waduk Bauno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton dan Kedung Wulan merupakan waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya d antara Kali Gunting disebelah barat dan Kali Brangkal di sebelah timur. Lima waduk yang pertama masih dapat ditemukan, namun waduk Kedung Wulan tidak terlihat lagi sisa-sisa bangunarinya, baik pada foto Udara maupun di lapangan.[7] Beberapa bangunan air bekas kerajaan Majapahit diantaranya adalah: 
Kolam Segaran 

Kolam segaran pertama kali ditemukan oleh seoran Belanda, Ir. Marc Lain Pont bekerjasama dengan Bupati Mojokerto pertama yaitu Kromojoyo pada tahun 1926. Sejak ditemukan hingga saat ini, telah beberapa kali dilakukan pemugaran yaitu pada tahun 1966, 1974, dan 1984. Bagi Kabupaten Mojokerto Kolam Segaran merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Majapahit, yang dituahkan dan dibanggakan masyarakat Trowulan khususnya dan Mojokerto pada umumnya. Nama Kolam Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut.[8]

Bangunan kolam yang berada di Desa Trowulan, kecamatan Trowulan dikenal dengan sebutan Segaran atau Kolam Segaran yang artinya Laut Tiruan. Kolam yang menempati areal seluas 6,5 hektar ini, berukuran panjang dinding 375 meter, lebar 175 meter, tinggi tembok 2,88 meter, dan ukuran ketebalan 1,60 meter. Pintu masuk menuju kolam yang berada di bagian barat, memiliki teras berukuran panjang 10,40 meter dan lebar 8,40 meter, dengan anak-anak tangga sebesar 3,5 meter.[9]

Peninggalan purbakala ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Kolam ini dibuat dari batu bata. Bata-batanya saling direkatkan tanpa menggunakan bahan perekat tambahan, melainkan saling digosokkan hingga bata-bata yang bersangkutan berlekatan satu dengan lainnya.[10]

Berdasarkan adanya saluran masuk dan keluar serta luasnya kolam, diduga Kolam Segaran terutama berfungsi sebagai waduk atau penampungan air (bandingkan dengan “baray” di Kamboja). Bangunan monumental ini adalah hasil teknologi bangunan basah yang mencerminkan kemampuan Majapahit beradaptasi dengan lingkungannya.[11]

Menurut cerita rakyat yang dihubungkan dengan Kolam Segaran adalah bahwa Kolam ini merupakan tempat raja-raja Majapahit menjamu tamunya yang datang dari mancanegara. Kolam ini diumpamakan sebagai danau buatan yang sangat indah dengan airnya yang jernih. Segala peralatan jamuan yang berupa sendok, piring, mangkuk, cawan dan sebagainya yang konon dibuat dari emas dan perak, begitu perjamuan selesai peralatan tersebut dibuang ke tengah kolam. Pembuangan perkakas jamuan ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa Kerajaan Majapahit adalah suatu kerajaan yang kaya raya. Tidak diketahui dengan pasti dari mana asal cerita rakyat ini muncul, yang pasti cerita ini sangat dikenal oleh penduduk setempat.[12]

Fungsi Kolam Segaran

Kolam segaran ini pada masa Kerajaan Majapahit berfungsi sebagai waduk dan penampung air, yang merupakan wujud kemampuan Kerajaan Majapahit akan teknologi bangunan basah, para ahli memperkirakan kolam ini sama dengan kata ”Telaga” yang disebut dalam kitab Negarakertagama. 

Selain itu, ada cerita yang menyebutkan bahwa kolam tersebut sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya. Kolam tersebut juga digunakan Maharaja Hayam Wuruk untuk menjamu tamu agung dari Kerajaan Tiongkok. Fungsi yang lain yaitu untuk tempat bersantai para putri – putri raja, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama di pupuh ke 38 yakni 

Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebiru‐biruan, ditengah: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan)

Pada masa sekarang kolam Segaran digunakan sebagai tempat berwisata untuk para masyarakat sekitar, selain itu kolam Segaran juga digunakan sebagai tempat untuk menyimpan cadangan air warga setempat dan kolam ini juga berfungsi sebagai tempat irigasi untuk mengairi sawah sawah warga di Trowulan. ini menyimpulkan bahwa, pembuatan kolam Segaran memiliki prioritas utama penunjang perekonomian rakyat, khususnya dibidang pertanian. Itu terbukti dari fungsinya saat ini sebagai waduk pengairan untuk sawah sawah masyarakat sekitarnya, selain itu dalam hari-hari besar keagamaan para pemeluk agama Hindu-budha tempat ini juga biasa digunakan untuk upacara larung saji masyarakat bali yang sengaja melakukan ritual di kolam segaran ini.[13]

2. Waduk- Waduk

Keberadaan waduk-waduk di sekitar kota Majapahit telah diketahui sejak tahun 1924, tetapi baru pada tahun 1970-an, dari foto udara yang dibuat di Situs Trowulan dan sekitarnya, diketahui dengan jelas. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pemerintah Majapahit membuat bangunan air tersebut untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai, penampungan, penyimpanan air, serta pengendali banjir. Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dengan Kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan. 

Waduk Baureno adalah waduk terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan, membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno; Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno; Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu; dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir. Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.

Fungsi Waduk

Kondisi lingkungan Majapahit selain memberikan dukungan terhadap kemajuan, juga menyimpan bahaya berupa bencana alam, yaitu bencana banjir dan letusan gunung berapi. Masyarakat Majapahit rupanya memahami betul ancaman tersebut dan mengantisipasinya dengan pembangunan waduk-waduk yang ada di situs Trowulan. Waduk-waduk yang ada di situs Trowulan dikelompokan menjadi dua, yaitu kelompok Barat Laut dan Kelompok Timur. Waduk-waduk yang berada di kelompok barat laut, berfungsi sebagai jalur transportasi air, sebagai contoh adalah waduk Temon. Terdapat dua kanal kuno yang bermuara di sungai Temon dari arah barat. Dalam prasasti Canggu juga disebutkan bahwa terdapat penyeberangan kali pertama adalah Temon, sehingga dugaan bahwa waduk Temon sebagai terminal air cukup beralasan (Wibowo, 2006). Adapun kelompok kedua adalah kelompok timur. Waduk-waduk yang berada di kelompok timur berfungsi untuk penanggulan banjir dan irigasi. 

3. Candi Tikus

Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi Bajangratu ke arah tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kompleks Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Bangunan Candi Tikus berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan utamanya terdiri dari dua tingkat. Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.[14]

Fisik candi tikus

Bentuk bangunan ini makin ke atas makin kecil dan dikelilingi oleh delapan menara yang lebih kecil bagaikan puncak gunung yang dikelilingi delapan puncak yang lebih kecil. Bangunan induk luasnya 7,65 x 8,75 meter dengan tinggi 5,20 meter. Secara horizontal bangunan induk dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: kaki, tubuh dan atap. Kaki bangunan berbentuk segi empat dengan profil berpelipit. Pada lantai atas kaki bangunan terdapat saluran air dengan ukuran 17 cm dan tinggi 54 cm serta mengelilingi tubuh. Sedangkan, pada sisi luar terdapat jaladwara. Selain itu, terdapat pula menara-menara yang disebut menara kaki bangunan karena adanya bagian kaki bangunan. Ukurannya 80x80 cm. Pada lantai atas kaki bangunan ini berdiri tubuh bangunan dengan denah segi empat, sedangkan di bawah susunan batanya terdapat pula kaki tubuh tempat tiap berdiri menara yang disebut menara tubuh. Selain itu, di setiap bagian dinding tubuh terdapat bangunan menara yang lebih besar dan berukuran 100x140 cm, tinggi 2,78 meter.

Dinding Teras

Bangunan dinding ini terdiri atas tiga teras yang mengelilingi bangunan induk dan kolam. Fungsi teras sebagai penahan desakan air dari sekitarnya, karena bangunan ada di bawah permukaan tanah. Selain itu, juga sebagai penahan longsor. Dinding teras pertama berukuran 13,50 x 15,50 meter, sedangkan lebar lantai teras 1,89 meter. Pada kaki terasnya yang berpelipit ada pancuran air yang berbentuk padma dan makara. Sedangkan, di bawah lantai teras terdapat saluran air berukuran 0,20 meter dan tinggi 0,46 meter. Saluran ini berhubungan dengan saluran yang ada pada bangunan induk dan diperkirakan saluran tersebut dipergunakan untuk mengalirkan air yang berasal dari bangunan induk tersebut (keluar melalui pancuran yang terdapat di bagian dalam dinding kolam sisi utara). Dinding teras tingkat dua berukuran 17,75x19,50 meter. Lebar lantai 1,50 meter dan tingginya 1,42 meter serta tebal dinding teras tersebut sebanyak 17 lapis bata. Sementara, dinding teras tingkat tiga mempunyai ukuran 21,25x 22,75 meter dengan lebar lantai 1,30 meter, tinggi dinding 1,24 meter, dan tebal dinding 10 lapis bata.

Tangga Utama

Tangga utama ini merupakan tangga menuju ke bangunan induk dan bilik kolam. Panjang tangga 9,50 meter, lebar 3,50 meter dan tinggi 3,50 meter. Sebagai catatan, pada sisi timur dan barat tangga teras satu dan teras dua terdapat pipi tangga yang menutupi jalan masuk ke teras satu dan dua.

Lantai Dasar

Lantai dasar terdiri dari susunan bata yang mempunyai permukaan atau bidang datar di bagian atasnya. Lantai tersebut tersusun dari dua lapis bata yang luasnya kurang lebih 100 meter persegi. Lantai ini berfungsi sebagai tempat berdirinya bangunan induk, kolam, dinding teras, dan tangga utama.

Pagar Tembok Luar

Pagar tembok berada di sisi utara, berjarak kurang lebih 0,80 meter dari dinding teras tiga, dan menjadi satu dengan pintu gerbang yang terdapat di tangga masuk.[15]

Candi Tikus sebagai Pengatur Debit Air Majapahit 

Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 – 1986, candi ini banyak mengundang perhatian para pakar sejarah kuno dan arkeologi. Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5 meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat lokasinya yang berada di Trowulan. Para pakar berusaha untuk menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural maupun ditinjau dari segi religius. 

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.[16]

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di candi Tikus adalah 17.604.915 cm "Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya. Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm Sedangkan jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.[17] Menurut A.J. Bernet Kempers, selain berfungsi sebagai pengatur debit air, letaknya yang berada di pinggiran kota menimbulkan munculnya kesimpulan situs ini sebagai tempat menyucikan tirta atau air yang mengaliri seluruh kota.[18]

Dua Tahap Pembangunan 

Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini. Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M (yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi candi Tikus ini. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan baku candi, yaitu bata merah. Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.[19]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan. Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah yang berukuran lebih kecil. Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku "sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380). Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil.[20]
B. SALURAN AIR

1. Kanal Kuno

Pada abad XIII sampai XV di Majapahit, air bukan lagi menjadi masalah. Manajemen dan teknologi pengairan dipikirkan secara matang untuk kepentingan Kerajaan Majapahit dan rakyatnya. Dari masa Majapahit banyak instalasi pengairan yang tersisa. Di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, kendati instalasi pengairan yang ditemukan lebih lengkap dan beragam, sebagian sudah terlupakan serta berubah wujud dan fungsi. Di Trowulan, teknologi pengairan Majapahit yang tersisa terdiri atas jaringan kanal, kolam penampung air, waduk, bak kontrol, dan saluran air bawah tanah. Foto udara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional mulai tahun 1973 sampai tahun 1980-an menunjukkan keberadaan jaringan kanal di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Jalur kanal yang lurus ini memanjang 4,5-5,5 kilometer dan bersilangan membentuk kisi-kisi. Lebarnya tidak kurang dari 20 meter, bahkan ketika dipetakan terakhir 40-80 meter dan kedalamannya 6-9 meter.

Selain menjadi sawah, sebagian kanal sudah menjadi permukiman, seperti yang terlihat di barat laut Kolam Segaran. Di sekitar makam Troloyo, kanal dibatasi dengan tembok dan dijadikan lapangan parkir. Di perbatasan Mojokerto-Jombang, sebagian kanal malah sudah rata dengan permukaan tanah dan siap diaspal menjadi Jalan Lingkar Mojoagung.[21]

Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini. Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan, memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam 4 m, dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya, berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting, dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekadar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil.[22]

Kanal ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan, gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar, yang memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi.[23] Di sebelah barat bangunan lantai segienam Sentonorejo, terdapat salah satu bagian kanal. Sekarang ini kanal tersebut telah menjad lahan pertanian yang ditanami kedelai dan jagung. Pada dinding-dinding kanal sisi barat dan timurnya terdapat terowongan-terowongan air yang menurut keterangan penduduk merupakan terowongan air bangunan Belanda yang memanfaatkan struktur bata kuno, guna pengairan tanaman tebu pada masa lalunya. Saat ini sejumlah empat terowongan air yang dibangun Belanda tersebut masih dapat kita jumpai di kedua sisi “sisa” kanal tersebut. (M. Fadhlan S.I., Yusmaini E. Joesman., dkk, Op.cit, hlm. 18.)

Situs kanal yang didukung oleh saluran air yang lebih kecil juga terlihat di Desa Watesumpak dan di Desa Bejijong, saluran air bawah tanah juga masih tampak di Desa Nglinguk. Di Nglinguk, saluran air bawah tanah seperti selokan kecil yang disusun dari bata. Adapun bagian atas (penutup) saluran bawah tanah sudah hilang sehingga sekilas tampak seperti selokan kuno.”Peninggalan ini menunjukkan apa yang dibuat Kerajaan Majapahit untuk rakyatnya. Di Jawa Tengah, banyak peninggalan bangunan suci, tetapi belum ditemukan peninggalan yang khusus ditujukan untuk pertanian dan kesejahteraan rakyat,” tutur topograf Bambang Siswoyo, pensiunan staf Balai Studi dan Konservasi Borobudur. 

Selain gorong-gorong, saluran bawah tanah, dan selokan, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.

Namun sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya kanal tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro tahun 1451, yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan ditambah dengan munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir, mengakibatkan kerusakan bangunan air tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus mengakibatkan daerah ini tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.

Posisi jaringan kanal yang melingkupi daerah yang diduga istana Majapahit, seperti di Sentonorejo, pengajar Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Hanan Pamungkas, melihatnya secara kosmologis. Menurut Hanan, dalam konsep Jambudwipa, kawasan istana dianggap mahameru, atau pusat jagat raya yang dikelilingi benua dan samudra. Dwi Cahyono menyepakati hal ini. ”Tanah di situs Sentonorejo tempat ditemukan sumur upas, lantai segi enam, dan umpak agak membukit. Kolam Segaran dan kanal bisa dianggap sebagai samudra yang melengkapi pusat kosmik,”.[24]

2. Sumur Kuno

Bentang lahan Trowulan yang termasuk daerah alluvial fasis gunung api, merupakan suatu daerah yang mempunyai sumber air tanah yang cukup. Apalagi di daerah selatan Trowulan merupakan daerah kaki gunung Arjuna, Welirang, dan Anjasmoro. Letak dataran ini memungkinkan berlimpahnya air tanah dan air permukaan Trowulan , sekalipun daerah itu menglalami musim kemarau yang lebih panjang. Pada umumnya sumber air tanah dapat digali pada kedalaman 3-4 m dan kwalitas airnya baik serta memenuhi syarat untuk diminum.

Sebuah survei sistematis di situs Trowulan yang meliputi area seluas 9 x 11 km berhasil menemukan sumur-sumur kuno. Densitas sumur-sumur tersebut sebanding dengan densitas temuan lain yang merupakan indikator pemukiman kuno. Menariknya, di beberapa tempat terdapat “pemusatan” sumur yang cukup tinggi, misalnya di sekitar Gapura Wringin Lawang sebelah tenggara. Dan tempat ini sekurang-kurangnya ditemukan 25 buah sumur kuno yang dibuat dari struktur bata dan jobong. Bentuk denahnya ada yang bujur sangkar dan ada juga yang dibuat dengan ukuran sisi atau garis tengahnya sekitarnya 1.50 m. Sumur jobong juga ditemukan, namun jumlahnya tidak banyak . garis tengah jobong berukuran 1 m. Di tempat lain konsentrasi sumur juga ditemukan di sekitar Batok Palung, Sentonorejo, Kedaton, Pandansili, dan tempat-tempat lain di Trowulan. dengan ditemukannya banyak sumur, diindikasikan bahwa Trowulan merupakan sebuah kota yang padat penduduk. 

Melihat bahannya, sumur-sumur kuno di Trowulan dibuat dari dua macam bahan, yaitu bata dan tembikar. Bahan ini mempengaruhi teknik pembuatan dan teknik pemasangan. Sumur yang dibuat dari batu merah denahnya berbentuk bujur sangkar atau bulat. Bentuk satuan batanya ada yang empat persegi panjang dan ada yang berbentuk melingkar. Bentuk bata empat persegi panjang biasanya digunakan untuk membuat sumur yang berdenah bujur sangkar dan teknik pemasangan yang berselang-seling tanpa spesi. Bentuk bata yang melingkar dipakai untuk membuat sumur yang berdenah bulat dan teknik pemasangan tanpa spesi. 

Jenis sumur lainnya adalah sumur jobong. Bahan untuk membuat sumur jobong adalah tanah liat. Bagian-bagian berbentuk silindris dengan ukuran garis tengah dan tinggi 1 m, sementara tebal dindingnya sekitar 10-20 cm. Salah satu ujung silinder jobong mempunyai ukuran garis tengah yang lebih lebar dan berfungsi sebagai pengunci. Bagian yang garis tengahnya lebih besar terletak dibawah. Air sumur selain berfungsi untuk keperluan sehari-sehari rumah tangga, juga berfungsi untuk upacara keagamaan dan pertanian dalam skala kecil, misalnya menyirami tanaman ketika kemarau.[25]

Contoh sumur kuno yang terkenal adalah Sumur Upas Kedaton di depan pipi tangga Candi Kedaton dengan jarak sekitar empat meter, ditemukan struktur bata yang merupakan bibir sumur kuna yang dibuat dari bata berbentuk bujur sangkar. Hingga saat ini sumur tersebut masih berair yang dimanfaatkan oleh para pengunjung yang datang ke candi tersebut. Ukuran bangunan bata ini adalah sebagai berikut: kedalaman sumur yang diukur dari bagian paling atas lapisan bata dinding sumur hingga permukaan air adalah 5,8 meter, sisilebar 140 cm, sisi panjang 146 cm, dan ukuran lubang 84x86 cm. Ukuran bata struktur bangunan tersebut adalah: panjang 33 cm, lebar 21 cm, dan lebar 6,5 cm.[26]

3. Sungai, Jalur Transportasi Kota

Masyarakat Majapahit khususnya Trowulan, tampaknya mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi dalam memanfaatkan kondisi alam sekitar. Trowulan sebagai pusat kerajaan berada di daerah pedalaman, namun memiliki akses ke luar melalui jalur-jalur air, dengan memanfaatkan air suangai yang kemudian dikembangkan dengan pembangunan kanal sebagai perpanjangan dari sungai-sungai alam. 

Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa barang-barang yang akan di bawa ke Majapahit dari daerah luar diturunkan di pelabuhan besar, kemudian diangkut dengan mengunakan kapal-kapal kecil melalui sungai dank anal. Tampak disini bahwa pemanfaatan transportasi air begitu dimaksimalkan. Sungai Brantas sebagai penghubung utama antar daerah pesisir dengan pedalaman telah memberi kontribusi positif terhadap perkembangan peradaban pada masa kerajaan Majapahit terutama abad XIV. Keberadaan sungai dan pelabuhan selain digunakan sebagai pendukung faktor ekonomi, juga digunakan sebagai jalur diplomasi, politik, penyebaran agama dan kebudayaan. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kota Trowulan.

Dalam prasasti Canggu atau prasasti Trowulan I disebutkan bahwa terdapat 44 desa penyeberangan di tepi sungai Brantas. Adanya desa-desa penyeberangan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan sungai yang besar seperti Canggu, Bubat, dan Terung (Rangkuti, 2005). Persebaran desa penyebrangan di sungai Brantas mempertegas posisi sungai tersebut sebagai sarana transportasi dan perdagangan yang menghubungkan daerah hulu dengan daerah hilir. Dilihat dari faktor keamanan dan politik, pemilihan lokasi di pedalaman sebagai ibukota tampaknya cukup beralasan, karena daerah tersebut cukup aman dari ancaman bahaya terbuka yang erupa penyerangan dari pihak luar melalui jalur darat. Adanya kanal-kanal sebagai “perpanjangan” dari sungai-sungai alam sebagai jalur transportasi air memungkinkan untuk mendeteksi ancaman atau bahaya secara lebih dini.

Berita Cina Ying-Yai Sheng-Lan (1416) menyebutkan bahwa tanah Jawa mempunyai empat buah kota tanpa tembok. Kapal yang dating ke daerah ini pertama mendarat di Tuban kemudian ke Gresik, Surabaya, dan terakhir ke Majapahit. Perjalanan dari Surabaya terlebih dahulu melewati Canggu, sebuah pelabuhan di sungai dengan menggunakan sebuah perahu kecil sepanjang 70-80 li atau kurang lebih 25 mil. Keudian perjalanan dilanjutkan dengan menempuh perjalanan darat selama 1.5 hari (Groeneveld, 1960). 


4. Saluran Air sebagai Sistem Irigasi

Sistem dan jaringan irigasi kerajaan Majapahit abad XIV begitu mendukung pertaniannya. Data prasasti memberikan gambaran tentang beragamnya irigasi yang dibangun masa pemerintahan Majapahit, yaitu: dawuhan, wwatan, tambak, tamang, tamya, talang, weluran, arung, tembuku dan subaki. Dalam penelitiannya Maclaine Pont berhasil mengidentifikasi tidak kurang dari 20 buah waduk, 6 waduk berada di Trowulan. Disamping bangunan air di Trowulan masih terdapat tiga buah kolam buatan (Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo), serta kanal-kanal bertanggul. Bahkan diduga di Trowulan masih terdapat saluran-saluran air kecil untuk mengairi sawah yang semua itu merupakan bagian dari sistem jaringan di daerah tersebut. Kemajuan teknologi masa Majapahit tak luput dari proses penerapan teknologi masa sebelumnya. Seperti yang terdapat pada Prasasti Kandangan (1350 M) berisi tentang perbaikan waduk dari hasil pembangunan masa sebelumnya (804 M), sebagaimana tercatat dalam prasasti Harinjing. Demikian pula pembangunan waduk sebagaimana tersurat dalam prasasti Bakalam (924 M), masih terus dilanjutkan bahkan diperluas jaringan-jaringan keairannya pada masa Majapahit. Hal yang sama juga dijumpai pada prasasti Trailokyapura 1486 M (Meer,1979:134).[27]

Pentingnya saluran air bagi pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah, maka pembangunan pertanian Majapahit seakan-akan menekankan pada prioritas pembangunan saluran-saluran irigasi dalam rangka proses pembangunannya. Sistem pengadaan institusi masyarakat pun dibuat guna menata dan mengolah bidang pertanian. Jabatan-jabatan yang tercermin dari isi beberapa prasasti antara lain: matamwak, huluair, penghulu banyu, klian subak (Meer,1979:60-68). Matamwak atau pengelola tambak, ditemukan pada prasasti Bogem (1387 M). Huluair atau penghulu banyu, dua istilah yang dapat diartikan sama yaitu pengatur irigasi, tersirat dalam prasasti Trailokyapura (1486 M). Menurut Casparis, sejak masa pemerintahan Raja Sindok (927-974 M) sampai dengan era Majapahit (abad ke-14 M). Berlangsung proses evolusi administrasi kerajaan yang terdesentralisasi ke arah sentralisasi.[28]

Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor keberhasilan pembangunan pertanian di Majapahit diantaranya adalah kebijakan pemerintah dalam menciptakan iklim yang merangsang untuk memajukan pertanian. Faktor lain yang dapat ditunjuk yaitu kebijaksanaan pemerintah dalam menyelenggarakan prasaraana fisik dan sosial yang merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian.


5. Saluran Air sebagai Konsep Kota Air 

Untuk dapat mempersatukan beberapa daerah dari sejumlah pulau, maka Majapahit kemudian membentuk armada laut. Dengan armada laut yang kuat, Majapahit berhasil menaklukkan beberapa wilayah dan mempersatukannya dalam konsep negara kesatuan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit. 

Melihat kenyataan bahwa Majapahit memiliki armada laut yang kuat, maka sangatlah mustahil apabila pusat Kerajaan Majapaghit tidak memiliki akses ke laut, meskipun pusat kerajaan ini agak jauh ke pedalaman. Selain itu, pada saat Majapahit masih berdiri, sarana perhubungan darat masih sukar, sehingga Majapahit pastilah mempunyai sarana-prasarana perhubungan air dan memiliki akses ke laut. Tetapi dalam denah Kota Majapahit yang dibuat oleh Ir. Maclaine Pont (dosen ITB zaman belanda), sama sekali tidak terlihat adanya sirkulasi perhubungan air di denah Kota Majapahit. Denah yang dibuat Maclaine Pont itu merupakan hasil pengamatan lapangan dan interpretasi dari Kitab Negara Kerthagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara - Lombok oleh Belanda, 19 November 1894. 

Akhirnya konsep Kota Majapahit yang memiliki kanal-kanal air untuk sarana perhubungan yang memiliki akses ke laut baru ditemukan pada dekade 1980-an, dalam penelitian yang memanfaatkan teknik penginderaan jauh dan geofisikal untuk investarisasi dan pemetaan peninggalan purbakala di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Penelitian ini melibatkan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan nasional, Direktorat Sejarah dan Purbakala Depdikbud, UGM, ITB, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.[29]

Perbandingan hasil penafsiran foto udara dengan peta-peta rekonstruksi Kerajaan Majapahit yang terlebih dahulu, memberikan kesan bahwa penelitian-penelitian terdahulu lebih terpaku pada penemuan kolam Segaran yang dianggap sebagai pusat kota dan kurang memahami kemampuan arsitek-arsitek Majapahit dalam membangun arsitektur Kota Majapahit. Dari hasil penelitian yang memanfaakan penginderaan jarak jauh, dapat diketahui bahwa arsitek-arsitek Majapahit telah membuat kanal-kanal sebagai saluran lalu-lintas lintas air di dalam kota.[30] Kanal-kanal air ini memiliki pola jalur-jalur yang potong-memotong tegak lurus, dengan arah utara-selatan dan arah timur-barat. Jalur air ini mempunyai lebar 20-30 meter dan kedalaman 4 meter. Di kiri-kanan jalur air ini terdapat sisa-sisa batu-bata, yang menunjukkan batas sepi saluran dan bekas-bekas bangunan. Sedangkan air untuk mengisi saluran ini berasal dari sungai-sungai di daerah selatannya, antara lain sungai Brangkal dan jalan keluarnya adalah lewat saluran ke barat sungai tersebut, kemudian menuju sungai Brantas. Jalur-jalur tersebut juga berhubungan dengan sungai Gunting (anak sungai Brantas) yang mengalir melalui tepi timur dan utara Kota Mojoagung. Untuk memperkuat hasil penelitian tentang konsep ''kota air'' Majapahit, maka perlu dikaji kitab Negara Kerthagama sebab, dalam di situ antara lain disenyebutkan, bahwa tamu-tamu yang datang ke Majapahit adalah lewat gerbang sebelah barat (Pura Waktra). Dari foto udara dan observasi lapangan yang dilakukan tim peneliti, ternyata terdapat suatu daerah yang merupakan hutan kecil yang dianggap penduduk sangat angker, kemungkinan tempat inilah merupakan bekas lokasi pintu gerbang tersebut. 

Dalam Negara Kerthagama juga disebutkan, keraton Majapahit dikelilingi tembok dan di luar tembok terdapat kolam air. Sisa kolam ini masih dapat dilihat di sebelah barat desa Kedaton. Di pinggir desa ini juga ditemukan bekas tembok tebal dan di luar tembok inilah terdapat bekas-bekas kanal air, yang merupakan sarana lalu-lintas air menuju sungai yang memiliki akses ke laut Jawa. Selain itu, dalam Negara Kerthagama juga disebutkan, barang-barang yang akan dibawa ke Majapahit diturunkan di pelabuhan besar dan diangkut ke keraton menggunakan kapal-kapal kecil. Dari uraian ini sudah jelas, bahwa pastilah ada saluran lalu-lintas air yang menghubungkan pelabuhan dengan pusat kota kerajaan. Apalagi Majapahit merupakan kerajaan yang memiliki armada laut yang kuat, sangat mustahil pusat kerajaannya yang berada agak ke pedalaman tidak memiliki saluran lalu-lintas air yang memiliki akses ke laut.[31]

Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki, yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindung serta aman dihuni.
C. Peralatan Air 
Anglo 

Sejenis tungku yang terbuat dari tanah liat berukuran kecil, dapat dipindahkan serta mempunyai fasilitas ruang penyimpanan bahan bakar berupa kayu/arang. Berbentuk silinder terbuka dan terdapat lubang persegi pada bagian depan. Pada bagian mulut membentuk tumpuan dengan bibir melebar keluar serta terdapat hiasan seperti batu-batu karang. Anglo ini memiliki relief seperti relief rumah beratap bambu dengan dinding papan dan berkolong, relief sapi dan menjangan serta motif bunga dan relief batu karang.

Merupakan wadah untuk membawa air yang memiliki dasar membulet. Bagian leher umumnya meninggi dan diakhiri dengan mulut berukuran lebar. Kebanyakan terbuat dari terakota, ada pula yang terbuat dari logam.

Guci 

Guci mulai dijumpai di Indonesia sejak adanya hubungan ekonomi, politik dan agama dengan luar negeri pada awal masehi. Fungsinya, selain sebagai alat upacara atau sebagai alat rumah tangga. Antara lain sebagai tempat anggur, air, dan sebagainya.

Jambangan Air 

Jambangan air merupakan wadah yang bagian dasarnya berbentuk setengah bola dan bagian atasnya berbentuk silinder, berhias antara lain kelopak bunga teratai, tumpal dan tumbuh-tumuhan. Bahan dasarnya tanah liat di buat dengan teknik roda putar dan motif hiasnya dengan teknik tekan gores dan ukir. Fungsi dari Jambangan itu sendiri adalah sebagai tempat air.

Pasu/ Nampan 

Pasu atau nampan adalah suatu wadah terakota yang berfungsi sebagai alat untuk membawa makanan dan minuman yang akan disajikan.

Periuk 

Periuk adalah wadah tertutup berbentuk bulat, leher mengecil, mulut melebar dan dasar cembung tidak berkaki yang biasanya terbuat dari bahan tembikar. Berfungsi sebagai tempat memasak nasi.

Pipa Air 

Pipa air ini berasal dari Trowulan. Dengan bentuk silinder lurus, lengkung, atau huruf T. Masing-masing ujungnya dibentuk sedemikian rupa untuk memudahkan penyambungan antar pipa. Ini bukti bahwa pengairan masa Majapahit telah maju. Teknik pembuatannya menggunakan jari tangan. 
Bak Air 

Bak air berbentuk segi empat berbahan tanah liat yang berhias relief tantric (cerita binatang) di sisi luarnya ini diduga memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah berkaitan dengan upacara keagamaan, sebagai wadah air dan juga sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan moral dan penanaman budi pekerti kepada masyarakat yang didasarkan pada konsep suatu agama dan diwujudkan dalam symbol binatang (cerita fabel), dengan tujuan untuk mengingatkan manusia pada sifat-sifat kebaikan dan keburukan. 
Lingga – Yoni 

Secara teknis Yoni merupakan landasan penyalur air yang digunakan untuk membasuh Lingga atau arca. Menurut mitologinya Lingga – Yoni sangat dipuja oleh para pengikutnya. Yoni merupakan symbol perempuan atau kesuburan yang selalu dikaitkan dengan Lingga. Menurut kepercayaan, dulu terdapat dualism yaitu laki-laki dan perempuan. Lingga melambangkan laki-laki atau pencipta dan di dalam Agama Hindu dipercaya sebagai manifestasi Dewa Siwa. Secara umum Lingga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Brahmaghaga (bagian bawah berbentuk segi empat), Visnubhaga (bagian tengah berbentuk segi delapan) dan Civabhaga (bagian atas berbentuk lingkaran).

Jobong 

Masyarakat Majapahit telah mengenal sumur sebagai salah satu sumber air. Sumur-sumur itu banyak ditemukan di sekitar sisa-sisa pondasi bata, bekas pemukiman kuno. Dinding sumur ada dua macam, yaitu persegi dan lingkaran. Sumur berpenampang lingkaran dindingnya terbuat dari bahan yang bervariasi antara lain : bata dan bis berbentuk silinder yang disebut jobong, juga dinding yang letaknya di atas susunan bata. Jumlah jobong pada sebuah sumur biasanya ganjil, bervariasi antara 1 sampai 11 buah. 
Tempayan 

Tempayan merujuk kepada sejenis bekas yang diperbuat daripada tembikar. Bekas ini bermulut luas dan terdapat dalam pelbagai saiz, kekadang dengan pelbagai ukiran tetapi biasanya tanpa ukiran. Selain itu, terdapat juga tempayan yang mempunyai ukiran timbul pada bahagian sisinya. (Wikipedia.org/wiki/tempayan)

Penulis : Rani Melina Deasy, Zulyani Evi, Dkk.                          
Editor : Emha Azmi Ridlo


[1] M. Fadhlan S.I., Yusmaini E. Joesman., dkk. Geohidrologi pada Bangunan-bangunan Air di Situs Kota Kuno Trowulan (Laporan Penelitian Arkeologi Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), hlm. 59 


[2] Loc.cit. 


[3] Ibid, hlm. 59-60. 


[4] Insiwi FS, Berbagai Definisi Teori Ekologi Kebudayaan Jawa (Materi Kuliah Ekologi Kebudayaan Jawa, 2015), slide 2. 


[5] M. Fadhlan S.I., Yusmaini E. Joesman., dkk, Op.cit, hlm. 60. 


[6] Loc.cit. 


[7] Karma Arifin, http://469297526426232.html. diakses pada Rabu, 29 April 2015, Pukul 07.30. 


[8] Andy Candra LP, Kolam Segaran Majapahit. http://kolam-segaran-majapahit.html. diakses pada Rabu 29 April 2015, Pukul 07.55. 


[9] Yusmaini Eriawati. 2006. Rekonstruksi Tata Letak Struktur Bangunan Kota Majapahit di Situs Trowulan, Mojokerto – Propinsi Jawa Timur. 


[10] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan. 


[11] Loc.cit. 


[12] Yusmaini Eriawati. Op.cit. hlm. ___ 


[13] Andy Candra LP, Kolam Segaran Majapahit. http://kolam-segaran-majapahit.html. diakses pada Rabu 29 April 2015, Pukul 07.55. 


[14] Ifatul Ajhe, Sejarah Candi Tikus. http://sejarah-candi-tikus.html. diakses pada Rabu, 29 April 2015, Pukul 06.42. 


[15] Ivan Sujatmoko, Candi Tikus. http://candi-tikus.html. diakses pada Rabu, 29 April 2015, pukul 06.39. 


[16] Ifatul Ajhe, Sejarah Candi Tikus. http://sejarah-candi-tikus.html. diakses pada Rabu, 29 April 2015, Pukul 06.42. 


[17] Ivan Sujatmoko, Candi Tikus. http://candi-tikus.html. diakses pada Rabu, 29 April 2015, pukul 06.39. 


[18] Ifatul Ajhe, Sejarah Candi Tikus. http://sejarah-candi-tikus.html. diakses pada Rabu, 29 April 2015, Pukul 06.42. 






[21] Galih Yoga Kusuma, Sistem Irigasi Canggih Kerajaan Majapahit. http://kaskus.co.id /sistem-irigasi-canggih-kerajaan-majapahit.. diakses pada Rabu 29 April 2015, pukul 08.52. 


[22] Tanah Impian, Kota Majapahit Tahun 1350. http://131-kota-majapahit-tahun-1350-m.html. diakses pada Rabu 28 April 2015, Pukul 08.22. 




[24] Galih Yoga Kusuma, Sistem Irigasi Canggih Kerajaan Majapahit. http://kaskus.co.id /sistem-irigasi-canggih-kerajaan-majapahit.. diakses pada Rabu 29 April 2015, pukul 08.52. 


[25] http://bravijaya.worpress.com/majapahit/9-sumur-majapahit/Kamis, diakses pada 30 April 2015, Pukul 06.25. 


[26] M. Fadhlan S.I., Yusmaini E. Joesman., dkk, Op.cit, hlm. 17. 


[27] Bambang Sulistyanto, Pembangunan Pertanian Zaman Majapahit. http://pembangunan-pertanian-zaman-majapahit.html. diaskes pada Rabu 29 April 2015, Pukul 08.29. 




[29] Gede Mugi Raharja. --------http://bali-travelnews.com. diakses pada Rabu 29 April 2015, pukul 06.25. 





Title : Bukti-Bukti Peninggalan Kerajaan MAJAPAHIT ABAD XIV
Description : Dalam teknik hidrologi, pengelolaan air (water management) dibagi kedalam dua tujuan, yaitu pengendalian atau pengontrolan air (control of ...

0 Response to "Bukti-Bukti Peninggalan Kerajaan MAJAPAHIT ABAD XIV"

Facebook

Dilindungi