KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA
1. Sistem Klasifikasi Simbolik
Klasifikasi Simbolik. Unsur-unsur kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang jawa adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan, keyakinan keagamaan, ritus, ilmu ghaib dan petangan, serta beberapa pranata dalam organisasi social.
Sistem klasifikasi simbolik orang Jawa didasarkan pada dua, tiga, lima dan Sembilan kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori dikaitkan dengan hal-hal yang berlawanan, yang bermusuhan, atau yang saling butuh-membutuhkan, dan terutama yang didasarkan pada perbedaan antara orang serta hal-hal yang tinggi.
Dalam alam pikiran orang Jawa, kedudukan yang tinggi sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang asing, jauh, formal, kanan, suci, dan halus, kedudukan rendah dihubungkan dengan akrab, dekat, informal, kiri, profane, dan kasar. Orang jawa sendiri juga mengenal keahlian serta pekerjaan yang dianggap suci, yaitu antara lain keahlian pandai besi. Seorang pandai besi memang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat desa di Jawa, dan sering kali dianggap orang suci yang memiliki kepandaian “ilmu ghaib”. Walaupun demikan mereka merupakan orang-orang yang bergau secara bias dengan warga desa yang lain, dan mereka pasti bukan orang yang selalu “halus” perilakunya.
Sistem klasifikasi simbolik berdasarkan kategori “kanan” dan “panas” apabila berkenaan dengan penyakit, dan klasifikasi dari penyakit-penyakit ke dalam penyakit yang panas dan dingin, merupakan dasar-dasar yang dilakukan seorang dukun, yaitu cara-cara untuk menetralkan penyakit yang diasosiasikan dengan panas, atau penyakit yang diasosiasikan dengan dingin.
Dalam beberapa buku tertentu mengenai serangkaian legenda tokoh-tokoh suci penyebar agama islam, yakni para wali, umumnya termaktub dalam dua macam silsilah dinasti para raja Jawa. Tidak lam sesudah allah menciptakan dunia, keturunan nabi adam dipisahkan menjadi dua garis, yaitu garis keturunan kanan, dimana termasuk nabi Muhammad, tokoh-tokoh suci agama Islam dan para Wali di Jawa, yang menurunkan dinasti-dinasti “kanan” raja-raja Jawa. Garis keturunan Kiri, yaitu meliputi para dewa Hindu, para Pahlawan-Pahlawan Mahabrata dan Ramayana yang menurunkan dinasti-dinasti “Kiri” raja-raja Jawa.
Konsep mengenai dinasti “kiri” dan “kanan” yang merupakan nenek moyang jawa, mungkin dengan sengaja telah diciptakan oleh para pujangga kraton untuk meengesyahkan proses integrasi unsur-unsur agama dan kebudayaan Islam kedalam kebudayaan kraton pada paroh abad ke-18 hingga awal berikutnya.
2. Orientasi Nilai Petani dan Orientasi Nilai Priyayi
Kerangka untuk membicarakan sistem orientasi nilai masyarakat Jawa. Secara Universal membagi nilai-nilai budaya dari semua bangsa dunia kedalam lima kategori berdasarkan lima masalah yang terpenting didalam kehidupan semua manusia yaitu, (1) Masalah Universal mengenai masalah hidup, (2) Masalah universal mengenai hakekat dari kerja serta usaha manusia, (3) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan alam, (4) Persepsi manusia tentang waktu, (5) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan sesamanya.
Masalah Mengenai Hakikat Hidup. Walaupun sebagian petani di Indonesia yang sudah tidak memikirkan tentang hakikat hidup dan tidak memiliki tradisi untuk berpikir mengenai hal itu, namun juga sudah ada yang sudah lanjut usia, dan para pegawai pamong desa, yang gemar membaca buku-buku Jawa tradisional yang dicetak dengan aksara Jawa.
Hakikat Karya Dan Etos Kerja. Orang desa pada umumnya berspekulasi tentang hakikat karya mereka, tentang pekerjaan dan arti dari hasil pekerjaan mereka, kecua percaya bahwa mereka selalu harus berikhtiar dan bekerja keras. Para penduduk yang agak terpelajar memberikan pendapat yang lebih dalam. Masalah tujuan akhir serta terpenuhinya daya upaya manusia mereka hubungkan dengan pahala, sesuatu hal yang baru akan mereka peroleh di akhirat kelak. Pola pemikiran mengena pahala seperti itu kurang lebih seperti yang dicantumkan dalam agama islam.
Hubungan Antara Manusia Dengan Alam. Konsep mengenai nasib yang telah di bicarakan juga menentukan sikap orang Jawa yang tinggal didaerah pedesaan, terhadap alam. Karena mereka sangat banyak banyak sangkut-pautnya dengan alam serta segala kekuatan alam, mereka belajar menyesuaikan diri dengan alam.
Persepsi Orang Jawa Mengenai Waktu. Orang Jawa pada umumnya, mempunyai persepsi yang sangat tajam, dan bahkan memiliki cara-cara yang rumit untuk menentukan waktu. Kemampuan untuk merasakan irama waktu juga ditentukan dengan suatu cara yang tradisional, yang menghitung saat-saat penting dalam siklus bercocok tanam dengan mengombinasikan berbagai macam sistem penanggalan yang terdapat dalam buku-buku primbon juga. Pada umumnya rencana-rencana, keputusan-keputusan, serta orientasi tingkah laku mereka ditunjukkan pada persepsi manusia pada masa kini.
3. Orang Jawa Sekarang
Sekarang ini sudah hampir tidak ada desa di Jawa yang benar-benar terpencil. Mungkin masih ada juga desa-desa tradisional didaerah pegunungan yang jauh letaknya dari jalan kereta api atau jalan raya. Nilai-nilai budaya dan cita-cita kebudayaan yang berasal dari Eropa Barat melalui pengaruh orang Belanda, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat politik, serta proses pealihan dari suatu peradaban agraris ke suatu peradaban industri yang akhir-akhir ini sedang berlangsung telah merusak nilai-nilai budaya nasional yang ada. Banyak penduduk desa adalah migran-migran musiman yang tinggal di Kota selama waktu tertentu dalam setahun, dan karean itu telah memiliki sifat hidup yang lebih aktif, sehingga mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa usaha manusia itu tergantung pada nasibnya saja.
Sekarang sudah banyak, baik orang desa maupun orang kota sudah lebih banyak berorientasi kepada keberhasilan karya mereka, dan merasakan kepuasan dan kebanggaan atas usaha mereka untuk mencapai keberhasilan. Banyak orang Jawa telah berhasil menganalisa rahasia-rahasia serta kekuatan-kekuatan alam berkat pendidikan yang mereka peroleh dari berbagai sekolah kejurusan atau akademi teknologi. Namun pendidikan sekolah mengakibatkan orang Indonesia tetap tinggal di Kota, karena alasan utama orang Indonesia pada umumnya, dan orang jawa pada khususnya adalah untuk berusah menjadi pegawai negeri.
Baik penduduk desa maupun orang priyayi sekarnang sudah banyak yang berubah persepsi mereka mengenai waktu. Sudah banyak orang yang mengorientasikan hidupnya kemasa depan dari pada masa lalu dan bahkan kemasa sekarang. Memang antara tahun 1973 dan 1977 dan suatu singakat dimana dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sistem perbankan, perusahaan-perusahaan asuransi jiwa, serta seluruh infrastruktur keuangan menjadi lebih stabil. Sikap tersebut di atas sangat bertentangan dengan nilai orientasi nilai budaya vertikal yang ada dan yang menurut hemat saya malah makin intensif diantara golongan pegawai negeri yang sekarang menggantikan kelas priyayi dari waktu sebelum Perang Dunia ke II. Kebutuhan akan sifat berdikari dan bertanggung-jawab tentu merupakan akibat dari menipisnya nilai gotong-royong pada umumnya, sebaliknya pancasila menonjolkan pentingnya kegotong-royongan itu, usaha bersama saling tolong-menolong, saling tenggang rasa dan toleransi, yang semua merupakan asas-asas penting dalam hubungan antar manusia.
1. Sistem Klasifikasi Simbolik
Klasifikasi Simbolik. Unsur-unsur kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang jawa adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan, keyakinan keagamaan, ritus, ilmu ghaib dan petangan, serta beberapa pranata dalam organisasi social.
Sistem klasifikasi simbolik orang Jawa didasarkan pada dua, tiga, lima dan Sembilan kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori dikaitkan dengan hal-hal yang berlawanan, yang bermusuhan, atau yang saling butuh-membutuhkan, dan terutama yang didasarkan pada perbedaan antara orang serta hal-hal yang tinggi.
Dalam alam pikiran orang Jawa, kedudukan yang tinggi sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang asing, jauh, formal, kanan, suci, dan halus, kedudukan rendah dihubungkan dengan akrab, dekat, informal, kiri, profane, dan kasar. Orang jawa sendiri juga mengenal keahlian serta pekerjaan yang dianggap suci, yaitu antara lain keahlian pandai besi. Seorang pandai besi memang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat desa di Jawa, dan sering kali dianggap orang suci yang memiliki kepandaian “ilmu ghaib”. Walaupun demikan mereka merupakan orang-orang yang bergau secara bias dengan warga desa yang lain, dan mereka pasti bukan orang yang selalu “halus” perilakunya.
Sistem klasifikasi simbolik berdasarkan kategori “kanan” dan “panas” apabila berkenaan dengan penyakit, dan klasifikasi dari penyakit-penyakit ke dalam penyakit yang panas dan dingin, merupakan dasar-dasar yang dilakukan seorang dukun, yaitu cara-cara untuk menetralkan penyakit yang diasosiasikan dengan panas, atau penyakit yang diasosiasikan dengan dingin.
Dalam beberapa buku tertentu mengenai serangkaian legenda tokoh-tokoh suci penyebar agama islam, yakni para wali, umumnya termaktub dalam dua macam silsilah dinasti para raja Jawa. Tidak lam sesudah allah menciptakan dunia, keturunan nabi adam dipisahkan menjadi dua garis, yaitu garis keturunan kanan, dimana termasuk nabi Muhammad, tokoh-tokoh suci agama Islam dan para Wali di Jawa, yang menurunkan dinasti-dinasti “kanan” raja-raja Jawa. Garis keturunan Kiri, yaitu meliputi para dewa Hindu, para Pahlawan-Pahlawan Mahabrata dan Ramayana yang menurunkan dinasti-dinasti “Kiri” raja-raja Jawa.
Konsep mengenai dinasti “kiri” dan “kanan” yang merupakan nenek moyang jawa, mungkin dengan sengaja telah diciptakan oleh para pujangga kraton untuk meengesyahkan proses integrasi unsur-unsur agama dan kebudayaan Islam kedalam kebudayaan kraton pada paroh abad ke-18 hingga awal berikutnya.
2. Orientasi Nilai Petani dan Orientasi Nilai Priyayi
Kerangka untuk membicarakan sistem orientasi nilai masyarakat Jawa. Secara Universal membagi nilai-nilai budaya dari semua bangsa dunia kedalam lima kategori berdasarkan lima masalah yang terpenting didalam kehidupan semua manusia yaitu, (1) Masalah Universal mengenai masalah hidup, (2) Masalah universal mengenai hakekat dari kerja serta usaha manusia, (3) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan alam, (4) Persepsi manusia tentang waktu, (5) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan sesamanya.
Masalah Mengenai Hakikat Hidup. Walaupun sebagian petani di Indonesia yang sudah tidak memikirkan tentang hakikat hidup dan tidak memiliki tradisi untuk berpikir mengenai hal itu, namun juga sudah ada yang sudah lanjut usia, dan para pegawai pamong desa, yang gemar membaca buku-buku Jawa tradisional yang dicetak dengan aksara Jawa.
Hakikat Karya Dan Etos Kerja. Orang desa pada umumnya berspekulasi tentang hakikat karya mereka, tentang pekerjaan dan arti dari hasil pekerjaan mereka, kecua percaya bahwa mereka selalu harus berikhtiar dan bekerja keras. Para penduduk yang agak terpelajar memberikan pendapat yang lebih dalam. Masalah tujuan akhir serta terpenuhinya daya upaya manusia mereka hubungkan dengan pahala, sesuatu hal yang baru akan mereka peroleh di akhirat kelak. Pola pemikiran mengena pahala seperti itu kurang lebih seperti yang dicantumkan dalam agama islam.
Hubungan Antara Manusia Dengan Alam. Konsep mengenai nasib yang telah di bicarakan juga menentukan sikap orang Jawa yang tinggal didaerah pedesaan, terhadap alam. Karena mereka sangat banyak banyak sangkut-pautnya dengan alam serta segala kekuatan alam, mereka belajar menyesuaikan diri dengan alam.
Persepsi Orang Jawa Mengenai Waktu. Orang Jawa pada umumnya, mempunyai persepsi yang sangat tajam, dan bahkan memiliki cara-cara yang rumit untuk menentukan waktu. Kemampuan untuk merasakan irama waktu juga ditentukan dengan suatu cara yang tradisional, yang menghitung saat-saat penting dalam siklus bercocok tanam dengan mengombinasikan berbagai macam sistem penanggalan yang terdapat dalam buku-buku primbon juga. Pada umumnya rencana-rencana, keputusan-keputusan, serta orientasi tingkah laku mereka ditunjukkan pada persepsi manusia pada masa kini.
3. Orang Jawa Sekarang
Sekarang ini sudah hampir tidak ada desa di Jawa yang benar-benar terpencil. Mungkin masih ada juga desa-desa tradisional didaerah pegunungan yang jauh letaknya dari jalan kereta api atau jalan raya. Nilai-nilai budaya dan cita-cita kebudayaan yang berasal dari Eropa Barat melalui pengaruh orang Belanda, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat politik, serta proses pealihan dari suatu peradaban agraris ke suatu peradaban industri yang akhir-akhir ini sedang berlangsung telah merusak nilai-nilai budaya nasional yang ada. Banyak penduduk desa adalah migran-migran musiman yang tinggal di Kota selama waktu tertentu dalam setahun, dan karean itu telah memiliki sifat hidup yang lebih aktif, sehingga mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa usaha manusia itu tergantung pada nasibnya saja.
Sekarang sudah banyak, baik orang desa maupun orang kota sudah lebih banyak berorientasi kepada keberhasilan karya mereka, dan merasakan kepuasan dan kebanggaan atas usaha mereka untuk mencapai keberhasilan. Banyak orang Jawa telah berhasil menganalisa rahasia-rahasia serta kekuatan-kekuatan alam berkat pendidikan yang mereka peroleh dari berbagai sekolah kejurusan atau akademi teknologi. Namun pendidikan sekolah mengakibatkan orang Indonesia tetap tinggal di Kota, karena alasan utama orang Indonesia pada umumnya, dan orang jawa pada khususnya adalah untuk berusah menjadi pegawai negeri.
Baik penduduk desa maupun orang priyayi sekarnang sudah banyak yang berubah persepsi mereka mengenai waktu. Sudah banyak orang yang mengorientasikan hidupnya kemasa depan dari pada masa lalu dan bahkan kemasa sekarang. Memang antara tahun 1973 dan 1977 dan suatu singakat dimana dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sistem perbankan, perusahaan-perusahaan asuransi jiwa, serta seluruh infrastruktur keuangan menjadi lebih stabil. Sikap tersebut di atas sangat bertentangan dengan nilai orientasi nilai budaya vertikal yang ada dan yang menurut hemat saya malah makin intensif diantara golongan pegawai negeri yang sekarang menggantikan kelas priyayi dari waktu sebelum Perang Dunia ke II. Kebutuhan akan sifat berdikari dan bertanggung-jawab tentu merupakan akibat dari menipisnya nilai gotong-royong pada umumnya, sebaliknya pancasila menonjolkan pentingnya kegotong-royongan itu, usaha bersama saling tolong-menolong, saling tenggang rasa dan toleransi, yang semua merupakan asas-asas penting dalam hubungan antar manusia.
Title : Resume KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA Karya Koentjaraningrat, 1994, Balai Pustaka Jakarta
Description : KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA 1. Sistem Klasifikasi Simbolik Klasifikasi Simbolik. Unsur-unsur kebudayaan ...
Description : KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA 1. Sistem Klasifikasi Simbolik Klasifikasi Simbolik. Unsur-unsur kebudayaan ...
0 Response to "Resume KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA Karya Koentjaraningrat, 1994, Balai Pustaka Jakarta"