A. Biografi
Ki Hajar Dewantara yang nama kecilnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Beliau adalah putra kelima dari Soeryaningrat putra dari Paku Alam III. Pada waktu dilahirkan diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena beliau masih keturunan bangsawan maka mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.[1] Menurut silsilah susunan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara masih mempunyai alur keturunan dengan Sunan Kalijaga.[2] Jadi Ki Hadjar Dewantara adalah keturunan bangsawan dan juga keturunan ulama, karena merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga.
Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah Gantung” antara R.M. Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan di negeri Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri Suryaningratan Yogyakarta.[3] Jadi Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara adalah sama-sama cucu dari Paku Alam III atau satu garis keturunan.
Tanggal 26 April 1959,Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di rumahnya Mujamuju Yogyakarta.[4] Dan pada tanggal 29 April, jenazah Ki Hadjar Dewantara dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa,kemudian diserahkan kepada Majlis Luhur Taman Siswa.Dari pendopo Taman Siswa,jenazah diberangkatkan ke makam Wijaya Brata Yogyakarta.Dalam upacara pemakaman Ki Hadjar Dewantara dipimpin oleh Panglima Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto.
B. Pemikiran
Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia kolumnis, politis dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Ki Hajar Dewantara telah menyadari bahwa bangsanya hidup dalam kemiskinan. Sebagai orang terpelajar, Ki Hajar Dewantara tahu pula bahwa kemiskinan bangsanya itu bersumber dari penjajahan bangsa asing. Dengan demikian, kemiskinan yanhg melanda bangsa Indonesia tidak disebabkan oleh faktor keberadaan bangsa itu sendiri, tetapi akibat faktor ekstern. Kemiskinan yang disebut alienasi ekonomi itu seharusnya tidak terjadi. Di samping mengalami alienasi ekonomi, bangsa Indonesia mengalami pula alienasi budaya yang terbentuk dari faktor feodalisme di dalam masayarakat Jawa. Dalam alienasi budaya itu hubungan antar-manusia tidak dapat berlangsung secara wajar karena ada stratifikasi sosial yang tajam.
Melalui harian De Expres Soewardi Soeryaningrat mengasah ketajaman penanya mengalirkan pemikirannya yang progesif dan mencerminkan kekentalan semangat kebangsaannya. Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Soewardi Soeryaningrat dan puncaknya adalah Sirkuler yang mengemparkan pemerintah Belanda yaitu “Als Ik Eens Nederlander Was” ! Andaikan aku seorang Belanda ! tulisan ini pula yang mengantar Soewardi Soeryaningrat ke pintu penjara pemerintah Kolonial Belanda, untuk kemudian bersama-sama dengan Cipto Mangun Kusumo dan Douwes Dekker di asingkan ke negeri Belanda.[5]
Dengan tersebarnya tulisan tersebut, pemerintah Belanda menjadi marah. Kemudian Belanda memanggil panitia De Expres untuk diperiksa. Dalam suasana seperti itu, Cipto Mangun Kusumo menulis dalam harian De Expres 26 Juli 1913 untuk menyerang Belanda, yang berjudul “Kracht of Vress” (Kekuatan atau ketakutan). Selanjutnya Soewardi Soeryaningrat kembali menulis dalam harian De Expres tanggal 28 Juli 1913 yang berjudul “Een Voor Allen, Maar Ook Allen Voor Een.” (Satu buat semua, tetapi juga semua buat satu)”.[6]
Di Belanda Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusuma, Douwes Dekker langsung aktif dalam kegiatan politik. Di Denhaag Ki Hadjar Dewantara mendirikan “Indonesische Persbureau” (IPB), yangmerupakan badan pemusatan penerangan dan propaganda pergerakan nasional Indonesia. Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif dalam berjuang. Oleh partainya Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai sekretaris kemudian sebagai pengurus besar NIP (National Indische Partij) di Semarang. Ki Hadjar Dewantara juga menjadi redaktur “De Beweging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan “Persatuan Hindia” dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga memegang pimpinan harian De Expres yang diterbitkan kembali. Karena ketajaman pembicaraan dan tulisannya yang mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hadjar Dewantara dua kali masuk penjara.[7]
Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pengasingan di negeri Belanda. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Melalui bidang pendidikan inilah Ki Hadjar Dewantara berjuang melawan penjajah kolonial Belanda. Namun pihak kolonial Belanda juga mengadakan usaha bagaimana cara melemahkan perjuangan gerakan politik yang dipelopori oleh Taman Siswa. Tindakan Kolonial tersebut adalah “Onderwijs Ordonantie 1932” (Ordinansi Sekolah Liar) yang dicanangkan oleh Gubernur Jendral tanggal 17 September 1932. Pada tanggal 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan Sidang Istimewa di Tosari Jawa Timur untuk merundingkan Ordinansi tersebut.
Hampir seluruh Mass Media Indonesia ikut menentang ordonansi tersebut. Antara lain: Harian Perwata Deli, Harian Suara Surabaya, Harian Suara Umum dan berbagai Organisasi Politik (PBI, Pengurus Besar Muhamadiyyah, Perserikatan Ulama, Perserikatan Himpunan Istri Indonesia, PI, PSII dan sebagainya. Dengan adanya aksi tersebut, maka Gubernur Jendral pada tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordonansi baru yaitu membatalkan “OO” 32 dan berlaku mulai tanggal 21 Februari 1933.[8]
Menjelang kemerdekaan RI, yakni pada pendudukan Jepang (1942-1945) Ki Hadjar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943, Empat Serangakai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI.[9] Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Pada hari minggu pon tanggal 19 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Disamping itu juga mengangkat Menteri-Menterinya. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[10] Pada tahun 1946 Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI, ketua pembantu pembentukan undang-undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di Akademi Kepolisian. Tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan menjadi anggota Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat.[11]
C. Peran
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat merupakan tokoh pergerakan nasional, Soewardi muda aktif di organisasi Boedi Oetomo sejak berdirinya tahun 1908. Beliau aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Selain aktif di Boedi Oetomo (Ejaan sekarang Budi Utomo), ia juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Pada waktu berusia 24 tahun, Ki Hadjar Dewantara ditangkap oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Idenburg dan atas permintaanya sendiri akan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun akhirnya diasingkan ke Belanda bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada tahun 1913. Ketiganya kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Dewantara. 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Pustaka Kartini.
Bambang Sokawati Dewantara. 1989. Ki Hadjar Dewantara, Ayahku. Jakarta: Pustaka Harapan.
Darsiti Soeratman. 1983. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gunawan. 1992. “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun Taman Siswa. Yogyakarta: MLPTS.
Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara. 1980. Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan, Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan. Jakarta: Gunung Aguna.
Ki Hadjar Dewantara. 1952. Kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Endang.
Ki Hadjar Dewantara. 1962. Karya Bagian I: Pendidikan cetakan II. Yogyakarta: MLPTS.
Moh. Tauchid. 1963. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: MLPTS.
[1] Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1983/1984), hlm. 8-9.
[2] Ibid, hlm. 171.
[3] Hah. Harahap dan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan
Kawan-kawan, Ditangkap, Dipenjara, dan Diasingkan, (Jakarta: Gunung Aguna, 1980),
hlm. 12.
[4] Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian I: Pendidikan, (Yogyakarta: MLPTS, cet. II,
1962), hlm. 137.
[5] Gunawan, “Berjuang Tanpa Henti dan Tak Kenal Lelah” Peringatan 70 Tahun
Taman Siswa, (Yogyakarta: MLPTS, 1992), hlm. 303.
[6] Moh. Tauchid, Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta:
MLPTS, 1963), hlm. 21.
[7] Ibid. hlm. 27-28.
[8] Sugiyono, Ki Hadjar Dewantara Berani dan Tegas Menentang OO, Dalam Buku Ki
Hadjar Dewantara dalam Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya, (Yogyakarta: MLPTS,
1989), hlm. 112-113.
[9] Ki Hadjar Dewantara, Kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara dari Kebangunan
Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan, (Jakarta: Endang, 1952), hlm. 122.
[10] Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara, Ayahku, (Jakarta: Pustaka
Harapan,1989), cet. I, hlm. 111.
[11] Bambang Dewantara, 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Pustaka Kartini,
1989), cet. I, hlm. 119.
Description : A. Biografi Ki Hajar Dewantara yang nama kecilnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Beliau adalah pu...
terima kasih gan, atas infonya :)
ReplyDeletewah, lanjutkan gan
ReplyDeleteOK Gan, sama-sama....
ReplyDelete